Jumat, 15 Desember 2017

Wajah Sastra Kalimantan Barat


Perkembangan sastra di Kalimantan Barat satu tahun terakhir ini menunjukkan gairah yang menggembirakan. Surat kabar lokal mulai giat memberi ruang kepada peminat sastra untuk mengapresiasikan naluri seni sastra mereka.

Bahkan surat kabar lokal dapat dikatakan telah menjadi barometer sejarah sastra di Kalimantan Barat. Hal ini tentu akan sangat baik jika itu terus terjadi, artinya surat kabar lokal secara konsisten menyediakan kolom tersendiri untuk para peminat sastra dan sebaliknya para peminat sastra pun dapat memanfaatkan peluang yang disediakan dengan bersungguh-sungguh.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa periodesasi sastra di Kalimantan Barat, salah satunya dapat dilihat melalui surat kabar lokal. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana sejarah awal perkembangan sastra di Kalimantan Barat dan situasi sastra berdasarkan terbitan surat kabar lokal Pontianak dan implikasinya bagi perkembangan sastra di Kalimantan Barat.

Pengantar
Kalimantan Barat merupakan merupakan satu daerah di wilayah Nusantara yang menyimpan kesan menarik mengenai tradisi sastra. Tercatat, pada Abad ke-19, tercipta syair-syair sejarah yang sangat berkesan dengan untaian kata-kata indah, yang bercerita tentang Kalimantan Barat dan masyarakatnya, misal Syair Pangeran Syarif dan Syair Perang Cina Monterado.

Syair Pangeran Syarif berlatarkan waktu 27 Muharam 1313 Hijrah, bertepatan dengan 7 Juli 1895 Masehi. Sultan Matan dari Ketapang menulis sebuah syair yang mengungkapkan pengalaman, pikiran, dan perasaannya setelah sembilan minggu berada di Pontianak; dari bulan pertama bulan Zulkaedah 1312 Hijrah hingga 13 Muharam 1313 Hijrah, dan tiba kembali ke Matan pada 18 Muharam 1313 Hijrah.

Syair ini menceritakan tentang Pontianak dan sultannya serta peran kolonial dalam pemerintahan kesultanan Pontianak (Arena Wati 1989). Sedangkan syair Perang Cina Monterado membicarakan kehidupan sosial, sejarah kedatangan, dan penempatan orang-orang Cina di Monterado serta pertempuran hebat yang terjadi pada tahun 1853 s.d. 1854 Masehi di Monterado.

Sebab-sebab pemicu perang dan prilaku ekonomi masyarakat Dayak dan Melayu dalam interaksinya dengan orang-orang Cina di Monterado pun tergambarkan dengan cukup baik melalui bait-bait syair ini (Arena Wati 1989:39).

Gambaran mengenai kehidupan masyarakat Kalimantan Barat di atas jelas terungkap dengan memanfaatkan sastra sebagai wujud apresiasi dan pemberitaan. Sastra dijadikan sebagai “surat kabar atau majalah” untuk menginformasikan segala macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat pemilik tradisi sastra tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, sekarang ini—koran atau surat kabar menjadi sarana aktualisasi diri pengarang dalam memperkenalkan karya tulis mereka agar dapat diapresiasi oleh khalayak atau penikmat sastra.

Peran strategis surat kabar dalam mempopulerkan sastra, sudah lama dimanfaatkan oleh para pelaku seni sastra di Nusantara. Bahkan di Kalimantan Barat, periodesasi sejarah sastra dapat dinilai dan dilihat melalui karya-karya yang pernah terbit dalam surat kabar dan majalah, misal Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan yang memanfaatkan media massa cetak untuk mengapresiasikan kemampuan dan kepiawaian mereka dalam berkarya dan menghasilkan karya sastra di awal-awal tahun 1950-an.
Oleh karena itu, perbincangan dalam tulisan ringkas ini membahas karya sastra yang muncul di harian Ap.Post dan Equator sebagai representasi wajah sastra Kalimantan Barat di Pontianak.

Sejarah Kepengarangan di Kalimantan Barat
Perkembangan kesusastraan Indonesia, secara resmi telah dimulai pada saat Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) didirikan pada tahun 1908. Bahkan A Teeuw menunjuk angka tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern.

Gagasan ini mulai digugat ramai sarjana, diantaranya adalah Ibnu Wahyudi, yang berpendapat bahwa sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi.[1] Sarjana lain yang juga tidak setuju dengan angka tahun 1908 dan 1920 sebagai tonggak awal sastra Indonesia modern adalah Maman S.

Mahayana, walaupun beliau tidak menyebutkan angka tahun yang pasti, kapan lahirnya sastra modern di Indonesia. Namun, Maman S. Mahayana berpendapat bahwa banyak karya sastra yang bertebaran di media massa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang tidak dianggap atau diperhitungkan dalam menandakan lahirnya sastra Indonesia modern (Mahayana 2005:411).

Para pakar sastra mengabaikan karya-karya penting yang muncul dalam surat kabar dan majalah. Kalau kita menyimak pendapat Teeuw dan Ajip Rosidi kelahiran kesusastraan Indonesia modern hanya berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya yang terbit dalam majalah dan surat kabar tidak dianggap dan cenderung ditenggelamkan (Mahayana 2005:392).

Kesusastraan modern di Kalimantan Barat dimulai perkembangannya oleh penyair dan penulis cerpen di majalah-majalah. Perkembangan awalnya dapat dilihat melalui karya-karya Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan sekitar tahun 1950-an di majalah Siasat dan Kisah. Munawar Kalahan pada tahun 1950 telah menerbitkan puisinya di majalah Siasat dengan judul “Riwayat Sedih”, kemudian Yusakh Ananda menerbitkan cerpennya di majalah Kisah pada tahun 1953 dengan judul “Kampungku yang Sunyi”.

Dua pengarang dari Kalimantan Barat ini kemudian semakin menyemarakkan panggung sastra nasional—maraknya karya-karya mereka terbit di sejumlah media nasional lainnya di era 1950-an, seperti Mimbar Indonesia, Seni, Zenit, Indonesia, Fantasi, Aneka, dan Duta Suasana membuat mereka semakin dikenal.[2]

Kepengarangan Munawar Kalahan dan Yusakh Ananda di media-media nasional selanjutnya diikuti oleh pengarang Kalimantan Barat lainnya dengan berkiprah melalui siaran sastra dengan nama “Gelanggang” di Radio Republik Indonesia Cabang Pontianak, seperti Slamet Muslana, M.Nazirin Ar, Abdul Madjid Ar, Asfia Mahyus, A. Muin Ikram, Soesani A. Is, M. Siri R, Maria Manggala, Ibrahim Abdurrahman, H. Bustani HA, Gusti Mohamad Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, Heri Hanwari, MS Efendi, dan Delly Ananda.

Selanjutnya beberapa dari mereka ini mendirikan kelompok pengarang Taratak Lima. Kelompok Taratak Lima selanjutnya menjadi Yayasan Taratak Lima dengan maksud menghimpun dan mempersatukan seniman dan budayawan Kalimantan Barat.[3]

Selanjutnya pada era tahun 1980 s.d. 1999 kesastraan Kalimantan Barat diramaikan lagi dengan pengarang baru seperti Khairani, Hartisani, Sulaiman Pirawan, Satarudin Ramli, Harun Das Putra, Efendi Asmara Zola, A.S Fan Ananda, Mizar Bazarvio, Odhy’s, dan Yudhiswara.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul juga beberapa pengarang muda, seperti Meyzar Syailendra, Pradono, Aspan Ananda, Mulyadi, Abdullah, Syaza Kayong, Chandra Argadinata, Uray Kastarani HAs, Cipto Gunardi, Ibnu Hs, Nuriskandar.[4]

Sekitar tahun 1983, periodesasi sastra di Kalimantan Barat dimarakkan dengan hasil karya M. Yanis. Pada tahun 1983 beliau memulai kiprahnya dalam dunia penulisan di Kalimantan Barat dengan menerbitkan sebuah novel sejarah perjuangan di Kalimantan Barat dengan judul Kapal Terbang sembilan. Novel ini pernah diterbitkan secara bersambung oleh surat kabar Akcaya pada akhir tahun 1979 s.d. awal tahun 1980. Selanjutnya, pada tahun 1998 M.

Yanis menerbitkan lagi sebuah novel sejarah dengan judul Djampea. Beliau juga masih menyimpan sebuah novel sejarah yang belum sempat diterbitkan yang ia beri judul Bukit Kelam di Hulu Melawi. Karya-karya M. Yanis sangat menggembirakan para peminat sastra dan sejarah di Kalimantan Barat. Bahkan sampai saat ini, belum ada satu pun pengarang Kalimantan Barat yang berhasil menjadi penulis produktif—yang menghasilkan beberapa novel dalam periode 1980 s.d.1990-an selain M. Yanis (Dedy Ari Asfar 2006).

Era 2000-an, kepengarangan Kalimantan Barat semakin dimarakkan dengan pendatang-pendatang baru yang masih muda. Mereka menerbitkan hasil karyanya di beberapa media lokal, seperti Pontianak Post dan Equator. Para pengarang muda pendatang baru ini diantaranya adalah Diah Ekawati, Andini Yulina P, Eko Akbar Setiawan, Naszahwatie, Mr. Toem, Heronimus Ragen, Budiman Rahman, Tan Tjian Siong, Wina Kuspriantie, Rosa Feliana Tanaya, A.Muin.D.Achmadi, Aris Kurniawan, Hasyim Ashari, Andrian Nova, Rahmayanti Husna, Afifi Titasahara, Kartika P, Mufidah, Irin Sintriana, Andi Nuradi, Elisa Chandra, Yosaria Elza, Wisnu Pamungkas, Hamdy Salad, Nur Iskandar, Yovita, Ahmad Asma dZ, Saifun Salakim, Laut, Pay Jarot Sujarwo,[5] Phazt Alexandra, Anastasia Nuri Indah, Amrin Z.R, Eko Amriyono, Yusuf Arifin, dan lain-lain. Beberapa diantara mereka bahkan ada yang menerbitkan antologi cerpen dengan judul Titik Nol yang ditulis oleh Pay Jarot Sujarwo, Yovita, dan Amrin Z.R. Bahkan ada pengarang pemula lainnya yang telah menerbitkan novel, yaitu Anthony Ventura dengan judul Crazy Campus.[6]

Dari Lisan Menuju ke Surat Kabar
Tradisi sastra di Kalimantan Barat lebih dominan dalam bentuk sastra lisan. Keberlisanan menjadi ciri yang umum dalam tradisi sastra di kawasan ini (lihat Dedy Ari Asfar 2005a,b,c,d; Chairil Effendi 2005). Tidak ada media massa yang khusus memuat sastra lisan atau mentransformasi sastra lisan ke dalam media cetak.

Surat kabar lokal di Kalimantan Barat seperti Ap.Post dan Equator hanya menyediakan kolom khusus untuk para peminat sastra modern seperti puisi dan cerpen. Selain itu, sesekali ada juga bentuk sastra lisan yang ditransformasikan dalam sastra tulis dengan memuatnya ke dalam media massa cetak lokal di Kalbar. Sastra lisan yang biasa muncul di surat kabar lokal wujud dalam bentuk pantun. Perhatikan sebuah bait pantun berikut.

Dari Siantar ke Berastagi
Dari padang ke Bukit Tinggi
Pegawai kecik sampai pejabat tinggi
Korupsi dah dijadikan ideologi

Bait pantun di atas pernah beberapa kali muncul dalam surat kabar lokal di Kalimantan Barat seperti Ap.Post dan Equator. Bait pantun ini memang tidak dimuat secara khusus dalam kolom apresiasi sastra tetapi ia merupakan sebuah iklan dari radio Kenari untuk berpromosi.

Walaupun demikian, ada sedikit gambaran menarik bahwa sastra lisan juga merambah media cetak untuk dapat dibaca dan dinikmati oleh khalayak dan digunakan sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan pemikiran. Fenomena serupa juga tampak dalam kolom Mat Belatong yang muncul tiap-tiap hari minggu di Equator; biasanya ada saja pantun dan syair yang digunakan dalam wacana-wacana yang dilontarkan oleh penulis Mat Belatong tersebut (lihat diantaranya A. Halim R, 30 April 2006 dan 16 Juli 2006:15).

Fenomena ini sekiranya yang penulis sebut sebagai transformasi lisan ke tulisan atau dengan istilah lain dari keberlisanan menuju keberaksaraan dalam sastra di Kalimantan Barat. Perhatikan Contoh pantun dimaksud berikut ini.

Pantun Mat Belatong[7]
Ikan Kepetek ikan buin
Ikan betutu ikan gelama
Kalau Ente jadi pemimpin
Dengarlah pantun khazanah lama

Ikan buin ikan bawal
Jadi pemimpin jangan bual
Ikan semah ikan silauari
Mikol amanah jangan mencuri

Arti Penting Kolom Sastra dalam Surat Kabar lokal
Surat kabar lokal seperti harian Ap.Post dan harian Equator memainkan kiprah yang penting dan sangat berjasa dalam mengantarkan pengarang dan karyanya kepada para penikmat atau pembaca dalam memahami fenomena karya sastra lokal yang ada di Kalimantan Barat. Kedua harian ini menjadi “foto” yang memotret situasi kesastraan yang dimiliki Kalimantan Barat.

Karya sastra yang dimuat dalam surat kabar lokal ini memainkan peran yang sangat penting. Pertama, surat kabar menjadi sarana atau wadah bagi para penulis untuk terus berkarya dan mengenalkan karyanya kepada para penikmat sastra secara berterusan.

Kedua, surat kabar juga berfungsi sebagai “rumah produksi” yang menerbitkan dan mengenalkan penulis karya sastra, dengan kata lain surat kabar mendistribusikan pemikiran seorang penulis dan menjadi penyambung lidah antara pengarang dan pembaca.

Ketiga, surat kabar menajdi batu loncatan bagi pengarang sebelum menerbitkannya menjadi sebuah buku. Artinya, adanya kecenderungan untuk menerbitkan kembali karya-karya sastra terbitan surat kabar menjadi buku—hal demikian sudah dilakukan oleh ramai pengarang dan penerbit sejak dahulu hingga sekarang. Ini dapat dilihat seperti yang dilakukan oleh M. Yanis dengan novel Kapal Terbang Sembilan; sebelum menjadi buku, novel ini pernah diterbitkan secara bersambung di harian Akcaya. Bahkan surat kabar nasional seperti Kompas malah menerbitkan cerpen-cerpen yang pernah mereka muat di harian tersebut menjadi suatu kumpulan buku (antologi).

Seputar Tema Sastra di Ap.Post dan Equator
Tema yang umum muncul dalam cerpen dan puisi di harian Ap.Post adalah seputar cinta remaja, Tuhan, dan kemanusiaan. Di harian Equator tema yang muncul lebih cenderung tema-tema ketuhanan, kemanusiaan, sosial, dan budaya yang bersifat lokal. Diantara sekian banyak penulis, berikut ini penulis paparkan tema yang pernah ditulis dalam bentuk cerpen dan puisi oleh beberapa penulis sebagai contoh.

Cerpen berjudul “Melayu Laut” karya Yosaria Elza dan cerpen “Notongk” yang ditulis oleh Laut merupakan cerpen-cerpen yang membicarakan tema sosial dan budaya yang benar-benar terjadi di Kalimantan Barat. Cerpen yang ditulis oleh Yosaria Elza mengangkat isu identitas etnis penduduk Kalimantan Barat.

Penulis cerpen ini membicarakan isu itu dalam jalinan watak cerita dengan berusaha mengutarakan pemikirannya melalui watak Puasa dan Pak Pung. Perhatikan kutipan berikut.
…“Bapak suku apa, orang apa?”
“Laut pak,” jawab puasa Pendek.
Puasa memang selalu menjawab demikian setiap kali ditanya suku atau bangsa apa. Tapi kali ini, di depan banyak orang, kepala kampung itu, menyalahkannya.

Menurut Pak Pung jawaban yang benar adalah Melayu, bukannya Laut! Laut itu sebutan untuk orang Melayu dahulu dan sudah tak layak lagi dipergunakan. Tak ada “Laut”, seperti juga tidak ada lagi sebutan “Darat” kata Pak Pung. Puasa kian keki karena kata-kata Pak Pung membuat orang yang hadir di pertemuan itu mentertawakannya.

Cerpen Notongk yang ditulis oleh Laut juga menawarkan perspektif sosial dan budaya Kalimantan Barat. Melalui cerpen ini, kita dapat mengetahui sebuah tradisi dalam masyarakat Dayak. Sebuah tradisi yang disebut notongk, yaitu sebuah tradisi ritual untuk menghormati tengkorak (abak) yang pernah menjadi korban tradisi mengayau (Equator Minggu, 8 Januari 2006). Demikianlah tema cerpen yang muncul dalam harian Equator dan masih banyak lagi tema-tema lain yang membicarakan tentang Tuhan, manusia, budaya, dan aspek-aspek lain yang lebih bersifat lokal.

Bahkan Asriyadi Alexander, editor yang menangani kolom seni dan sastra berkomitmen untuk menerbitkan cerpen-cerpen yang bernuansa lokal dengan pelbagai perspektif tetapi tidak menerima karya yang bertemakan cinta dan remaja (KP, 20/3/2006).

Cerpen-cerpen yang dimuat harian Ap.Post sepertinya agak longgar dalam menerbitkan karya-karya sastra penulis pemula lokal. Artinya, sang editor tidak memberikan kriteria khusus karya-karya yang handak diterbitkan, “asal” ada tulisan yang oleh penulisnya disebut cerpen dan dikirimkan ke Pontianak Post, mungkin akan diterbitkan dalam kolom “Apresiasi”, yaitu kolom sastra yang ada di harian Ap.Post.

Hal ini mungkin disebabkan keinginan Ap.Post untuk mewadahi sesiapa saja yang menaruh minat dalam dunia penulisan dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu dalam berkarya. Tema yang muncul cenderung membicarakan tentang cinta dan remaja, ada juga tema-tema ketuhanan, kamanusiaan, dan sosial.

Kelonggaran yang penulis maksudkan di sini ialah, sepertinya tidak ada proses seleksi yang selektif dalam menerbitkan tulisan di kolom sastra harian Ap.Post sebab tulisan yang tidak begitu menarik dan tidak bernilai sastra pun dapat terbit dengan mudah.

Hal ini dapat dilihat dalam cerpen “Tulisan untuk Pay” oleh Diah Ekawati (Ap.Post, Minggu 31 Oktober 2004), yang menurut penulis hanya semacam surat cinta seorang gadis kepada lelaki yang dipujanya.

Cerpen ini tidak memperlihatkan konflik dan klimaks dalam alur peristiwa cerpen. Padahal inti sebuah cerpen adalah konflik. Cerpen-cerpen yang bertema demikian berdasarkan catatan yang ada pada penulis dapat dilihat juga dalam cerpen “Messages” oleh Kartika P, “Andai” oleh Andini Yulini P, “Bisu” oleh Mr.Toem, “Hati Yang Tersembunyi” oleh Wina Kuspriantie, dan lain-lain.

Namun, ada juga penulis pemula yang menggarap tema-tema sosial yang lagi up to date, seperti kemiskinan, kelangkaan bahan bakar minyak, dan korban pelecehan seksual yang dialami oleh TKW di negeri jiran.

Penutup
Peran penting surat kabar lokal dalam memberdayakan dan mengenalkan penulis sastra tidak dapat dinafikan. Surat kabar lokal menjadi pencatat atau dokumen yang mengesahkan eksistensi penulis sastra lokal di Kalimantan Barat. Bahkan surat kabar lokal di Kalimantan Barat menjadi barometer untuk melihat wajah sastra yang berkembang di Kalimantan Barat.

BIBLIOGRAFI
A. Halim R. 2006. Kolom Mat Belatong. Dalam Equator, Minggu 30 April 2006 dan 16 Juli 2006.
Dedy Ari Asfar 2005a. Kengkarangan: Tradisi Syair Melayu di Pedalaman Ketapang. Makalah yang disampaikan dalam seminar bulanan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Maret 2005.

Dedy Ari Asfar. 2005b. Identitas Lokal dan “Ilmu Kolonial” di Kalimantan Barat. Dalam Yusriadi, Hermansyah, dan Dedy Ari Asfar. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN: Pontianak Press.
Dedy Ari Asfar. 2005c. Etnopuitika: Ilmu Linguistik dan Sastra Lisan di Pulau Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Padang, pada 18–21 Juli 2005.

Dedy Ari Asfar. 2005d. Islamic and Pre-Islamic Culture: The Data of Malay Oral Tradition in Cupang Gading, West Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi Internasional di Imperial Mae Ping Hotel, Chiang Mai, Thailand pada 7—8 Desember 2005.

Dedy Ari Asfar. 2006. Citra Manusia dalam Novel Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat Karya M. Yanis. Laporan penelitian. Pontianak: Balai Bahasa Kalimantan Barat.
Ong, Walter J. 1982. Orality and literacy: The Technologizing of the World. New York: Methuen & Co.Ltd.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.
[1] Ibnu Wahyudi mengatakan, awal keberadaan Sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (anonim), yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (KPG, 2000). (Lihat Asep Sambodja Republika Minggu, 21 November 2004).

[2] Musfeptial, 2003, Biografi Pengarang Kalimantan Barat, Pontianak: Balai Bahasa Kalimantan Barat, halaman 12.

[3] Pendiri dan anggota Taratak Lima adalah H. Bustani HA, Gusti Mohamad Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, M. Siri, Soesani A. Is, Heri Anwari, MS Efendi, dan Delly Ananda. Penamaan Taratak Lima pertama kali dianjurkan oleh Gusti Mohamad Mulya. Kata Taratak bermakna pondok atau dangau sedangkan Lima bermakna bahwa anggota kelompok ini selalu berkumpul di depan korem, tempat berkumpulnya para pedagang kaki lima. Kelompok ini juga membentuk grup musik dengan nama Kumbang Cari (Musfeptial 2003:13).

[4] Ibid., halaman 16–19.

[5] Beliau ini termasuk penulis yang aktif, karyanya antara lain adalah Antologi Puisi di West Borneo, Kembara Cinta ini Kuceritakan, diterbitkan di Pontianak pada tahun 2005 oleh Pijar Creativity.

[6] Novel ini bertemakan remaja. Anthony Ventura adalah seorang pengarang pemula yang berasal dari
etnik Cina Pontianak. Beliau lahir di Pontianak, 10 Agustus 1980. Pendidikan terakhir, Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer (STMIK) Pontianak tahun 2002. Novelnya Crazy Campus diterbitkan di Depok, Jakarta oleh penerbit Kata Kita tahun 2005.

[7] Pantun ini penulis kutip melalui kolom Mat Belatong oleh A. Halim R dalam harian Equator, Minggu 30 April 2006.

Sumber:
http://www.kalbariana.web.id/wajah-sastra-kalimantan-barat/
http://www.publiksastra.co.cc/2010/12/wajah-sastra-kalimantan-barat.html

Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
This Is The Oldest Page