Jumat, 20 September 2019

Cerpen | Matinya Pelayan Kedai Kopi

author photo
"Jika Gina tak segera dihabisi bisa saja ia buka mulut melaporkan apa yang telah didengarnya ke polisi. Habislah! Rencana mereka gagal total."

Matinya Pelayan Kedai Kopi , pic pexels

Cerpen E. Widiantoro

Kemarin, Gina mati. Eh, Gina meninggal, maksudku. Kisah kematian Gina ketika sedang terlelap tidur jadi omongan orang di Tanjung Nipah. Maklum. Gina masih muda. Umurnya belum genap dua puluh tiga. Cantik!

Pekerjaannya,  pelayan kedai kopi milik Mama Lina, perempuan paruh baya yang memang dikenal  sebagai pengusaha di Tanjung Nipah. Itulah sebabnya,  kedai kopi tempat Gina bekerja disebut kedai kopi Mama Lina, buka selama dua belas jam mulai pukul enam pagi sampai pukul enam sore.

Mungkin karena ada Gina,  kedai kopi yang terbilang besar di tengah  pasar Tanjung Nipah itu selalu ramai sejak pagi. Pelanggannya, siapa lagi kalau bukan kaum lelaki. Mereka senang melihat  Gina yang ramah dan gesit ketika melayani.

Wajahnya cantik seger semriwing kinyis-kinyis gimanaaaa gitu. Belum lagi dengan bentuk tubuhnya yang biasa dibalut celana jeans dan t-shirt sungguh ulalaaaaa aduhai kece badai, lumayan menggetarkan jantung lelaki. Gina jadi perempuan yang memesona, penuh daya pikat.

Banyak lelaki betah di dekatnya sekadar ngopi, ngobrol ngalor ngidul. Ada yang iseng menggodanya, ngajak nikah biar jadi istri muda yang kedua, ketiga atau kelima. Alamak! Mendapat godaan begitu, Gina cuma senyum, menolak halus, bicara seadanya. Ia tahu kaum lelaki itu hanya iseng. Jadi, semua omongan dianggap angin lalu.

Kabar kematian Gina benar-benar mengejutkan, apa lagi bagi lelaki pelanggannya di kedai kopi Mama Lina. Banyak yang bertanya apa penyebab kematiannya. Banyak yang berspekulasi. Pasti Gina mati karena begitu, karena begini. Tak ada yang menyebut Gina mati karena ruhnya telah keluar dari jasad, dicabut oleh Izrail, Sang Malaikat Maut, atas perintah dari tuhannya. Soal ini, mungkin mereka lupa.

Baca Juga : CERPEN | Sebuah Rahasia

***

Sehari sebelum kematiannya, Gina masih melayani pengunjung di kedai kopi Mama Lina.

Sekelompok lelaki, entah dari mana, datang pukul lima sore. Diam-diam, kuhitung jumlahnya, tujuh orang. Aku tahu mereka  bukan orang Tanjung Nipah, hanya sekadar singgah. Tak seorangpun dari mereka menyapa Gina kecuali memesan minuman kopi panas, teh es, cappucino mocca dingin, dan air putih es tanpa gula.

Mereka bicara pelan, hampir tak terdengar. Ada pula yang saling berbisik. Si lelaki tua gendut  bercambang lebat itu, yang memakai jaket kulit hitam memegang cerutu, rambutnya gondrong diikat ke belakang sesekali melihat keadaan sekeliling. Sesekali matanya menatap Gina yang duduk santai setelah membuat dan mengantar minuman ke pemesan, main hape di belakang meja kasir.

Aku yang telah satu setengah jam duduk di sudut kiri kedai kopi dekat pintu masuk bersiap pulang ke rumah. Kuselipkan selembar uang lima ribu di bawah gelas kaca bekas air kopi hitam tinggal ampasnya. Dengan begitu aku tak perlu bayar di kasir. Aku lantas keluar meninggalkan kedai kopi.

Ketika hendak menekan kick starter sepeda motor di tempat parkir,  sempat kulihat lelaki tua gendut cambang lebat berjaket kulit hitam itu memanggil Gina dari kursinya. Gina mendekat. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak datang ke tempat itu lagi sampai kudengar Gina telah mati,  jadi cerita yang tak henti.

Kisah kematian perempuan pelayan kedai kopi itu benar-benar jadi gorengan mateng di Tanjung Nipah,  mengalahkan berita  seputar pemilihan presiden dan isu politik yang menyertainya. Sejak kematian Gina kemarin tak kudengar omongan dari lelaki pendukung Pak Joko dan Pak Bowo. Tak ada cerita kecebong dan kampret. Ah, Gina. Berita dan perdebatan politik bercampur hoax yang biasa mewarnai obrolan di kedai kopi jadi sepi karena kematiannya.

Tadi pagi, rumah Gina di  utara tak jauh dari pasar Tanjung Nipah ramai dikunjungi warga yang melayat atau takziah, pun aku. Tiga polisi datang. Dua berseragam dinas lengkap dengan pistol terselip di pinggang, satu berkaos biasa lengan panjang hitam. Hanya ada tulisan kuning sablon  'polisi' di punggungnya. Mereka bicara dengan mama Gina.

Tak lama, rumah duka dipasang police line. Nah, ini pasti ada yang tak beres, pikirku. Kematian Gina sebenarnya tak wajar. Setelah takziah di rumah duka aku segera  berangkat ke Pontianak, bekerja di sebuah kantor swasta.

Baca Juga: Penyair Gurem dengan Kolor di Kepalanya

***

Sore pulang kerja, kisah kematian Gina seperti bola liar yang bergerak ke sana kemari di tengah pasar Tanjung Nipah. Bagaimana bisa, Gina yang segar bugar tanpa kabar sakit sebelumnya, tak mengalami kecelakaan apapun tiba-tiba mati.

Spekulasi kian berkembang tentang penyebabnya. Kuat dugaan, Gina adalah korban pembunuhan. Namun kenapa Gina dibunuh, apa pula motifnya, entahlah. Polisi mencari orang yang bersama Gina di saat terakhir sebelum kematiannya.

Teringatlah aku dengan mereka, tujuh lelaki yang datang ke kedai kopi pukul lima. Lelaki tua gendut berjaket kulit yang memegang cerutu itu, yang memanggil Gina dari kursinya. Jangan-jangan...!

Ah, seketika jantungku berdegup kencang. Gina sengaja dibunuh karena menjadi satu-satunya orang yang tahu rencana jahat mereka hendak mengedarkan narkoba di kawasan Tanjung Nipah. Jika Gina tak segera dihabisi bisa saja ia buka mulut melaporkan apa yang telah didengarnya ke polisi. Habislah! Rencana mereka gagal total.

Mereka menawarkan Gina sejenis minuman berenergi asal luar negeri dalam sebuah gelas. Gina mau saja menerima tawaran itu. Lalu, diteguknya minuman enak warna cokelat tua itu sampai habis. Gina tak pernah tahu, minumannya telah dicampur racun mematikan yang menunjukkan reaksi perlahan setelah tujuh jam. Gila! Ini benar-benar gila. Telah terjadi peristiwa  pembunuhan berencana. Pelakunya adalah...!

"Hehh!" aku terkejut, pundakku ditepuk seseorang dari belakang ketika sedang duduk di beranda masjid Tanjung Nipah. Mas Widi, ternyata.

"Hei, Budi. Mikirin apa sih, sampe serius gitu?" tanyanya.

"Eemmm, anu, Mas. Mikirin siii...!" aku gugup.

"Siapa? Gina?" desaknya.

"Ha'ah!" ujarku jujur dengan mulut agak terbuka.

"Hahahaaaa..!" Mas Widi tertawa. "Ada penggemar si Gina merasa kehilangan nih."

"Haissh! Jangan sembarangan ngomong gitu dong, Mas. Aku bukan penggemarnya," bantahku "Hanya kasihan aja dia jadi korban pembunuhan."

"Ya, begitulah. Orang-orang bilang Gina tewas karena dibunuh,"

"Ih, naudzubillahi min dzalik!"

"Kamu mau tahu penyebab kematian Gina yang sebenarnya, Bud?" tanya Mas Widi.

Aku mengangguk.

Ia menjawab cepat. "Gagal jantung!"

"Hhaahh? Semuda itu, Mas? Koq bisa?" cecarku.

"Gagal jantung bisa terjadi pada usia berapapun, hanya pemicunya yang berbeda. Dalam kasus Gina, karena penyakit jantung koroner sejak lama. Menurut dokter sih gitu," ujar Mas Widi.

Katanya lagi, setelah tiga polisi datang, jasad Gina dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi atas permintaan keluarga. Ia tahu hasil otopsi itu dari obrolan ringan dengan mama Gina ketika menjadi  driver ambulans Kampung Tanjung Nipah yang membawa jasad Gina dari rumah duka ke rumah sakit, selanjutnya dari rumah sakit ke pekuburan.

Aku mengangguk perlahan,  percaya banget dengan penjelasan Mas Widi, tetangga sebelah rumah, kakak kelasku semasa SMA. Gina memang telah tiada tetapi penyebab kematian perempuan pelayan kedai kopi itu bukan seperti yang sempat terlintas di pikiranku. Ah, betapa aku telah  berdosa. Dan, malu!

Kuala Dua, 19 Juli 2019


Baca Juga : Cinta di Ujuang Senja

Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post