Minggu, 23 Januari 2022

Resign Cerpen E. Widiantoro

author photo

Cerpen E. Widiantoro


literasikalbar.com - E. Widiantoro mengajak pembaca untuk memahami suatu kondisi yang sebenarnya terjadi. Pembaca diajak untuk tidak sekadar  menilai sesuatu yang tampak, tetapi mencari tau apa alasan (latar belakang).


literasi kalbar
Resign Cerpen E. Widiantoro pic pixabay


Resign


Aku benar-benar harus mengakhiri riwayat bekerja di hotel ini ketika menyaksikan jenazah seorang kakek terbujur kaku tanpa busana di tempat tidur dalam sebuah kamar. Ia mengembuskan napas terakhir ketika sedang bersama perempuan yang  berteriak histeris meminta tolong di line telepon customer service.


Tujuh tahun! Ya, tujuh tahun aku bekerja di hotel, menjadi tenaga house keeping. Masuk pukul lima sore, pulang pukul lima pagi. Entah telah berapa banyak kisah   dari para tamu yang menginap.


Pernah ada pasangan tamu  check out pukul empat lewat di lantai tiga. Si lelaki  paruh baya, ada banyak uban di kepala. Si perempuan masih muda. Rok pendek. Belahan dada  terbuka berjalan sempoyongan digandeng si lelaki. Mungkin ia masih ngantuk atau sedang mabuk.


Mereka keluar, aku segera masuk kamar. Sprei berantakan. Pendingin udara tetap menyala. Televisi LED empat belas inc sedang memutar ulang sinetron lawas yang pernah tenar di tahun dua ribu. Cepat tanganku bergerak hendak mengganti sprei baru. Hampir saja kakiku menginjak alat kontrasepsi bekas pakai dibuang sembarangan di lantai, cairan putih kental baunya khas.


Kutarik sprei, ada benda yang turut bergerak muncul dari balik lipatan. Kain tipis segitiga berenda warna merah muda milik perempuan.  Pintu kamar hotel yang terbuka sedikit diketuk seseorang. Belum sempat kupersilakan masuk sesosok perempuan langsung nyelonong. Sepasang matanya yang sayu menebar pandang ke seluruh sudut ruang lalu ke permukaan tempat tidur seperti mencari-cari sesuatu.


"Mbak mencari ini?" Aku menunjukkan kain tipis segitiga  berenda warna merah muda. Tanpa ba bi bu cepat diraihnya benda itu dari tanganku lalu bergegas  keluar kamar. Ketika adegan itu berlangsung kudengar azan subuh berkumandang dari kejauhan. Aku tenang saja. Terus bekerja.


Cerpen Musim Ngayau


Bulan kemarin aku di lantai tujuh. Hendak mengemaskan kamar setelah tamu barusan check out. Melewati sebuah kamar kudengar perempuan menangis. Kuhentikan langkah. Memasang telinga. Menahan napas. Ya, jelas!  Memang ada  perempuan sedang menangis. Lama-lama tangisnya makin keras. Kudekati kamar. 


“Permisi. Ada orang di dalam?” Kuketuk-ketuk pintu. Suara tangis semakin keras. “Hallo...?! Hallloooo....?!”


Tangis mereda berganti suara  perempuan.


“Masuklah!”


Aku masuk ke kamar. Seorang perempuan berambut panjang duduk di pinggir tempat tidur. Masih muda benar. Usia SMA kukira. Wajahnya yang basah diusap dengan jaket jeans biru. 


Kutebar pandang ke sekeliling. Tak ada yang aneh, pikirku. Kenapa ia menangis? Belum sempat terlontar  pertanyaan itu dari mulutku,  telah kulihat cairan merah yang mengotori sprei putih. Di dekat cairan merah seukuran telunjuk orang dewasa ada belasan lembar uang kertas merah bergambar dua orang.


“Aku telah berdosa, Bang. Tadi  aku ikut om-om ke sini. Bapakku sedang sakit  butuh uang untuk berobat,” katanya pelan. Wajahnya keruh menyiratkan kesedihan mendalam.


“Sekarang pulanglah,” Aku melangkah begitu saja hendak mengemaskan kamar lain yang barusan ditinggal tamu check out.


“Aku tak tahu jalan pulang,” katanya menahan langkahku.


“Di mana rumahmu?”


“Siantan, Gang Widi nomor sebelas.”


Kuambil ponsel. Membuka aplikasi ojek on line. 


“Turunlah,” kataku memasukkan ponsel ke saku celana.  “Aku telah memesan ojek untuk kau pulang. Bilang saja Nuh.”  


“Nuh?”  Ia mengerutkan dahi.


“Namaku Nuh.”


“Terima kasih, Bang Nuh.” katanya mengenakan jaket jeans berjalan pelan dan canggung, meringis seperti sedang menahan sakit. Aku keluar kamar, azan Isya   berkumandang di kejauhan. Aku tetap saja bekerja.

***


Cerpen Kepala Terbang


Tiga hari kemudian,  aku benar-benar harus mengakhiri riwayat bekerja di hotel ini ketika menyaksikan jenazah seorang kakek terbujur kaku tanpa busana di tempat tidur dalam sebuah kamar. Ia mengembuskan napas terakhir ketika sedang bersama perempuan yang  berteriak histeris meminta tolong di line telepon customer service


Kebetulan aku sedang berada  dekat meja resepsionis    menerima teleponnya karena teman yang stand by sedang ke toilet. Kupanggil petugas security yang berjaga, buru-buru kami ke lantai tiga tempat terjadinya peristiwa. Kuketuk pintu kamar langsung dibuka  perempuan gemoy, cantik dan wangi. Wajahnya pucat.


“Kita belum ngapa-ngapain, Mas. Sumpah! Aku baru buka pakaian terus kita pemanasan dikit tetapi bapak nih udah telanjur modar!” katanya panik. Ketakutan. Lagi-lagi kudengar kumandang azan Subuh di kejauhan.


Aku resah. Balik badan, bergegas keluar kamar. Kematian datang tiba-tiba kepada setiap orang tanpa memandang waktu, tempat dan usia. Bisa kapan saja, di mana saja dan usia berapa. Kelak aku sendiri gimana? Aku mati dalam keadaan seperti apa? Berapa banyak bekal yang telah kupersiapkan untuk menghadapi kematian. Bukankah selama ini aku...! Ya, Tuhan...! 


Aku geleng-geleng kepala, melangkah turun ke lantai dasar menuju musala. Salat. Mengingat Tuhan sepenuhnya. Pukul lima sebelum pulang ke rumah, kutulis sepucuk surat untuk pihak manajemen hotel. Perihal singkat; resign. Kutitipkan surat bertulis tangan  itu ke costumer service, berharap diteruskan ke pihak manajemen.


Aku pulang. Sampai  rumah di Tanjung Nipah,  aku bergegas mandi lantas bersiap hendak tidur.


Selalu begitu setiap pulang kerja. Maklum aku masuk  pukul lima sore, pulang pukul lima pagi. Tak ada waktu untuk tidur. Tak pula aku salat padahal sebenarnya bisa. Ke mana aku ketika tiba waktu Magrib, Isya dan Subuh? Aku tak hadir  di musalla, selalu saja memilih  bekerja.  


Tak bisa lagi kutahan kantuk. Sebelum benar-benar terlelap kudengar nuraniku bicara; “Jika ada sesuatu dalam hidup yang menjauhkan  diri dari Tuhan, lepaskan. Tinggalkan!”


Aku semakin mantap untuk resign!

Pontianak, 27 Oktober 2021


***

E. Widiantoro , lahir di Pontianak 11 Juli 1973. Karyanya tak banyak, hanya menyusun buku 117 Cerpen E. Widiantoro, antologi puisi Kembang Pawan dan 199 Puisi Lainnya dan novellet Perempuan di Kampung Caping. Dapat dihubungi melalui Instagram: @e_widiantoro, Facebook: E Widiantoro, E-mail: ewidi11@yahoo.co.id.

Berkaitan dengan isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis. Literasi Kalbar sebagai wadah kreativitas berliterasi baca tulis.

Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi, & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com

Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan

Literasi Kalbar


Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post