Selasa, 12 Maret 2024

Bulan, Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan

author photo

Cerita Alfiansyah Bayu Wardhana


literasikalbar.com - Alfiansyah menyajikan cerita yang ada di sekitar kita. Bagaimana tokoh aku yang memiliki tekad kuat dan semangat untuk mencari nafkah untuk istrinya. Istrinya yang jauh dari tokoh aku yang selalu dihubunginya sekadar melepas rindu. Tokoh aku yang kesepian jauh dari istri dan berusaha mencari nafkah di kota. Lalu apa yang dilakukan istrinya? 


Literasi Kabar
Bulan, Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan pic pixabay


Bulan, Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan


        Cahaya bulan tampak seperti keramaian, binarnya anggun. Walaupun ia sendirian, sinarnya tidak seriuh makhluk manusia saat bersama, bulan memberikan sinarnya tanpa diminta, tanpa perlu pusing membayarnya. Waktu-waktu seperti ini bagiku adalah hadiah terindah, saat di mana bulan menyumbang bayangan tanpa suara, kesepakatan, kami selalu beriringan.


        Malam ini, bayanganku setuju, ia mengangguk. Katanya, “Teleponlah, aku tidak lelah mendengarkan.” Barangkali sudah ratusan kali telepon ini bersemayam menjadi dongeng di kepala bayanganku, tapi tetap saja, saat aku meminta, ia tidak meninggalkan.


        Telepon kuambil dari saku kananku, ia tampak bau keringat, jariku lepas landas pada sebuah nama, yaitu istriku. Waktu membunuh dering teleponku, sekali tidak terangkat, aku coba lagi. Tulisannya tidak lama berubah ‘terhubung’.


        “Mah, kamu lagi apa? Kok baru diangkat?”


        Suaranya nampak parau, ia menggeram. Ah, nampaknya aku mengganggu mimpinya malam ini. Ia lalu berbicara, “Kenapa malam-malam telpon sih, Mas! Kamu tahu aku sedang tidur kan.” Mematikan telepon.


Baca Juga : Lomba Menulis Terbaru dan Terlengkap 2024


        Istriku tidak pernah mau ada yang mengganggu, saat perjamuan dengan mimpi ia lakukan. Katanya, “Mimpi adalah kenyataan dan perlu dituntaskan.” Sekali waktu, aku mengganggunya bermimpi untuk meminta bersenggama, jangankan mau celananya di buka, bisa-bisa nantinya hanya ada makanan kemarin yang tersisa.


        Malam terus merayu lelahku untuk tenggelam, saat diriku terus dirundung rindu. Meskipun istriku berumah di kampung halaman, sedangkan aku di kota, saat aku mendengar suara sapaannya, aku merasa dicintai tanpa ada luka.


        Uang di toples itu perlu dihitung, beberapa lembarnya menyembul menggantung, dalam benakku, diri ini ingin menyampaikan kebahagiaan hasil kepada istriku, namun aku lupa, dia tidak bisa diganggu. Hari ini seperti mendapatkan THR, tanpa hari raya. Lebih banyak uang dua ribu, urutan ke dua lima ribu, sisanya hanya koinan. Ucapan syukur terus berkumandang dalam hati dan bibirku, semoga Tuhan mendengarnya.


        Bayanganku menyahut, “Kamu bisa gunakan itu untuk keperluanmu dahulu, sisanya kamu bisa berikan ke istrimu, kasihani dirimu.” Ia lantang dan lugas mengucapkannya.


        Aku menggeleng, berdiri, menunjuk-nunjuk sekujur tubuh, menghempas-hempaskannya, “Ini semua tidak apa-apa.”  Lambat, kesadaranku terhempas melesat. Bulan berganti matahari.


***


        Cahaya matahari menembus kedua kelopak mataku. Tidur berlandas tak tentu, bermandikan angin luar, seperti membuatku terbiasa dengan keadaan, walaupun tidak dengan jasadku, ia selalu meminta bantuan, memohon ada salah satu Content Creator mengkomersialkan diriku. Entah akan dibuatkannya seperti apa, namun aku akan menyetujuinya jika balasannya adalah kesembuhan. 


        Bayangan tetap tinggal di samping, seperti teman yang bisu, namun setia menunggu. Matahari telah menujuk kepadaku untuk pergi, ia seperti ‘ibu’ yang panas, jika melihat anak-anaknya diam tidak bergegas mencari uang. Diriku bangun bersiap, membersihkan diri seadanya lalu pergi.


        Menjadi sosok yang menghidupkan boneka, berkeliling gang-gang, adalah untuk mendapatkan uang. Saat di dalam boneka, bayanganku berubah menjadi besar. Dirinya tetap ada dalam bentuk lainnya dan selalu menyemangati.


        Aku melenggang sesuka hati, tanpa perlu takut harga diriku jatuh. Aku adalah boneka yang riang gembira, melenggang ke sana, ke mari. “Ah, sial.” Tetapi, panas terus merebus tiap helai rambutku, kepala adalah konduktor panas yang mudah membuatku lemas. 


        Jalan kutempuh jauh, memberi salam, ucapkan permisi, meminta secuil harapan yang berbentuk uang dari orang-orang yang aku temui. Tidak perduli sudah sejauh mana aku pergi, aku hanya mencari rezeki. Seorang mendatangiku, ia memberi. Senangnya diri ini, tiap ada orang yang menjatuhkan uangnya di toples ini. Walaupun rute perjalanan mencari uang masih sangat panjang.


Baca Juga : Bagaimana Literasi Memberdayakan Gen Z ?


        Aku menuju pasar, di sana tempat yang paling aku sukai. Sangat ramai. Walaupun tidak semua akan memberi, namun dengan tarian dan hiburan boneka ini, siapa yang tidak suka denganku. Kebahagiaan terus aku bagikan sepanjang jalan, beberapa uang sudah masuk ke toples, uang koin yang keras, sangat merdu saat beradu dengan toples, atau para koin yang saling beradu bunyi.


        Papan nama pasar sudah terlihat, aku berjalan menyebrang dengan orang-orang yang ingin pulang. Pasar begitu sempit dengan boneka besarku, saling menghimpit, atau terhimpit. Aku tetap bahagia, dan izin diri untuk mendapat secuil rezeki.


        Bayanganku mengikuti gerakan, menari-nari, melompat-lompat bahagia. Ah, aku dan bayangan saling membahagiakan, bagai seekor burung surga yang sedang birahi, menari-nari menunjukkan kepada betinanya untuk membuahi. Sesekali aku memberikan ucapan salam, lalu setelah mendapatkan uang, berikan saja doa-doa harapan.


        Pintu masuk pasar sudah berada di sampingku persis, aku masuk. Indra penciumanku merangkul lebih dahulu bau-bau yang tersedia di pasar, keringat-keringat bercampur oksigen terbang menguap. Lagu tanjidor terus disenandungkan. Boneka ini memang berpasangan dengan musik tersebut. Memeriahkan pasar, bersenggolan, menyapa setiap pengunjung, penjual yang ada di sana.


        Tanpa sadar bonekaku menyenggol, “Pelan-pelan, jangan seenaknya jalan kalau di pasar.” Salah satu pengunjung menegurku. “Mah, ada ondel-ondel!” Anak-anak riang gembira melihatku, meskipun ada saja yang menangis.


        Beberapa anak-anak pasar mengerubungi, ia mengikuti ke mana aku pergi. Ke sana, ke mari. Mereka bagaikan anak yang mengikuti induknya. Saat aku melompat maupun mengejar, mereka saling bersahut-sahutan saling berteriakan, memekik gendang telinga semua orang.


        Kebahagiaan terus menyelimuti, meskipun bayanganku tidak ada saat di dalam pasar. Aku terus berayun-ayun kegirangan, menari-nari, berputar. Musik disetel lebih keras, agar setiap penonton bahagia dan gembira. Boneka ini seperti jasad asliku.


        Tanpa sadar, pijakan yang tidak rata dan boneka yang berat, membuat kakiku seperti burung yang kehilangan tenggerannya. Aku mengais-ngais mencari pijakan, tanganku mengenggam ruang sempit di dalam boneka, kepalaku menyesuaikan dengan segera, boneka ini terlalu berat didiamkan. Sudah sekuat tenanga, badanku jatuh perlahan, lunglai, mataku awas, aku jatuh di tempat penjual ikan.


        Saat aku jatuh dan kesulitan, bayanganku tetap tidak ada. Di mana bayanganku? Ia menghilang, tidak ada. ada kah yang ia tidak suka di dalam pasar? Atau cahaya di dalam tidak ada? diriku was-was, sangat kebingungan. Terdengar suara sekitar bergemuruh dengan irama yang sama, jejak kaki mengitari diriku. 


        “Bang, tolongin itu. Eh-eh, tolongin itu. Ondel-ondelnya jatuh.” Sangat ramai sekali aku mendengarnya dari dalam sini. Aku masih mencari bayanganku.


        Seorang memegang kakiku. Ia menyenggol-nyenggol, “Mas, tidak apa-apa? Bisa ke luar sendiri? Atau mau saya tarik?”


        “Ti… tidak… perlu, Mas… Saya bisa sendiri…” suaraku ragu mengucapkan, diriku butuh, namun jasadku tidak siap.


        “Sudah, tidak perlu ditanya. Tarik saja, Bang.” Suara lainnya menyerobot. Ia memegang kakiku, ia menarik paksa.


        Aku ke luar tertarik, dalam keadaan seluruh tubuhku tanpa berbalut boneka, ikan si penjual berhamburan ke mana-mana, semua orang yang melihatku tampak kaget. Seorang yang menolongku, melepas pertolongannya. Anak-anak ada yang teriak. Dari kejauhan aku lihat, seorang Ibu-ibu mual saat melihatku.


        “Ih, jorok, jijik.” Ucapan itu menerobos ke dalam telinga lalu ke hatiku.


        “Sana pergi, jangan minta-minta di pasar. Ini makanan semua. Nanti ketularan!” seorang penjualan memekik.


        Aku langsung bergegas bangun. Boneka tersebut aku dirikan, semua perlengkapan aku bawa pergi. Berlari sekencang-kencangnya. Diriku masih di luar, boneka belum aku gunakan. Suara tanjidor masih mengiringi dalam pelarian. Hanya demi meminimalisir suara dan menghindar dari ucapan-ucapan yang menyakitkan. Teriakan terus terbang menghantui, silih berganti, orang yang aku lewati dengan cepat menghindar. Aku terus berlari, sejauh-jauhnya pergi.


Baca Juga : Peran Literasi dalam Membentuk Pemikiran Kritis dan Analitis


        Sudah teramat jauh dari pasar aku berlari. Suara-suara yang menggelayuti hatiku hilang, buntutnya masih ada mengekor dalam ikatan pikiran. Keringat mengucur dari tiap pori-pori, berlari membuat habis energi, nafasku pendek seperti Karni Ilyas, tersengal-sengal. Ah, aku teringat. Diriku belum meminta maaf kepada si tukang Ikan.


        Bayanganku datang, lalu mengetuk pundaku, “Sudah ku peringatkan, jangan jauh-jauh dariku.”


        Aku diam saja saat ia berbicara, keringat masih sangat subur untukku panen.


        Bayangan berbicara lagi, “Tidak ada yang mau melihat dirimu, barangkali jika Tuhan bertemumu saat ini, dirimu sudah diludahinya untuk masuk ke Neraka. Apalagi istrimu yang sudah lama kamu tinggalkan, mungkin saja…” ]


        “Mungkin saja apa?” aku langsung menatapnya, mataku pisau yang siap menusuk-nusuknya.


        “Penyakitku tidak menular, aku tidak pernah mendonorkan darah, maupun memberikan sperma ke selain istriku.” Suaraku menekan memberikan kepastian.


        “Tapi nyatanya, dengan kutil disekujur tubuhmu saat ini. Siapa yang betah bersamamu setiap hari kecuali diriku.”


        Bayanganku terus berceloteh, ia mengomentari dari semua yang ia ketahui. Mulai dari yang dahulu-dahulu sampai yang terbaru. Kepalaku runyam berkecamuk dengan diriku sendiri. Bayanganku ada menemani, tapi tidak ada manusia yang sudi di sini. 


        Ah kesepian, dalam dunia yang ramai. Tiap makhluk hadir saat ingin mengambil barang berharga orang lain, saat sesuatu menghilang dan tidak berharga, jadilah seonggok sampah yang tidak berguna. Maka, izinkanlah aku bermimpi seperti istriku di kampung, tanpa gangguan, sampai hari kesembuhanku tiba dan aku dapat diterima.

literasi kalbar


Alfiansyah Bayu Wardhana, biasa dipanggil Alfian. Lulusan S1 Sastra Indonesia, Universitas Pamulang. Kesibukannya saat ini membuat konten sejarah, budaya, sastra, dan bahasa di akun media sosial pribadinya. Selain itu, sering berkumpul dengan orang-orang sastrawan dan budayawan di Tangsel. Berkomunitas di Gerakan Berbagi, Tangsel Creative Foundation, Adakopi Original, dan Semaan Puisi. IG: Hoyalfi, Tiktok: Hoyalfi


literasi kalbar


Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post