Selasa, 09 April 2019

Cerpen | Perempuan Bersepatu Merah Di Kota Pati

author photo
Cerpen Aiko Arawati

Perempuan itu tak pernah lagi tampak di berandaku. Iya, mungkin sejak saat itu dia mulai muak dengan kalimatku yang kurasa lucu. Namun, yang masih membuat berfikir keras hingga sekarang, apa maksud perempuan itu tiba-tiba mendatangiku lantas berkata, “Mbak, aku bingung. Bantu aku agar dia tidak dingin sama aku,”

Langsung kujawab saja dengan nada penuh selidik, “Terus, hubungannya sama aku apaan?”

perempuan bersepatu merah di kota pati
pixabay.com
Perempuan itu sejenak diam. Dalam diamnya, kulihat gerak matanya ada tanda yang tidak beres.
“Mbak, sampeyan ‘kan teman komunitasnya, pasti mengetahui semua tentang dia … bla, bla, bla …” Perempuan itu terus nyerocos membuat gendang telinga terasa sakit.

“Mbak, saya memang pernah bertemu dengan dia ketika ada seminar komunitas kepenulisan, tapi hanya sebatas kenal. Ya, seperti angin berlalu saja!” geram dengan perempuan itu, aku berdiri dari bangku taman.

“Tapi, Mbak …,” lagi-lagi perempuan itu masih ngeyel.

Mungkin karena kekesalanku sudah membuat rongga dada menyesak, aku mengakhiri obrolan tidak berguna ini. Hari spesialku harus terganggu oleh makhluk tidak tahu diri seperti perempuan polos yang mengenakan long dress selutut dengan sepatu merah menghiasi kaki jenjangnya.

“Maaf Mbak sebelumnya, saya harus pergi sekarang. Saya ada jadwal syuting pembuatan film pendek.” Aku melangkahkan kaki sambil melirik jam ungu yang melingkar di pergelangan tangan.

Benar-benar kacau, jadwalku dengan produser film tertunda gegara perempuan gila tadi. Sudah hampir dua jam aku menunngu sambil duduk di bangku, tidak ada tanda-tanda kemunculan bapak produser. Akhirnya, di sudut taman kota Pati, jauh dari bayangan perempuan itu, aku mengeluarkan gawai dari dalam tas selempang. Mengirim pesan whatsapp kepada orang yang kuberi julukan mesin atm berjalan. Hahaha. Ya, siapa sangka produser film adalah sumber uangku.

"Maaf, Pak. Hari ini makan siang kita batal saja, ya. Saya ada acara lain."

Beberapa menit, deritan gawai mengagetkan lamunan.

"Rani, tapi … aku juga mau mengenalkanmu sama seseorang."

Aku mengernyitkan dahi, lalu membalas, "Siapa?"

"Nanti kamu tahu sendiri. Kalau kamu ada waktu santai kita ketemu aja."

"Oke."

Tidak seperti biasanya si bos bermain rahasia denganku. Maksudku jarang sekali dia seolah memberi kejutan. But, it’s oke. Awas saja kalau dia berani macam-macam. Langsung saja kulaporkan kepada istrinya yang super bawel bin nenek sihir.

“Yani?” aku melongo melihat salah satu teman kampus tengah berdiri di hadapanku. Dan … siapa dia? Maksudku, perempuan yang bersamanya.

Perempuan gila yang mengenakan long dress selutut tadi rupanya belum menghilang. Justru kembali bersama Yani. Aku mengernyitkan dahi melihat pemandangan aneh.

“Yan? Lu sama dia? Ngapain?” jelas saja aku terheran melihat kebersamaan mereka.

Pasalnya setiap kali di arena kampus, mereka bersama dengan kelompok gank masing-masing. Membuat kubu yang seolah mereka bukanlah teman. Tetapi musuh. Seperti itulah kelasku, usia yang semakin menua untuk menimba ilmu tidak lagi dipedulikan. Layaknya anak-anak SMA yang baru memiliki seorang teman, mereka asik membentuk kelompok gank masing-masing. Nggak habis pikir.

“Ehem. Tumben kalian akur? Ada apa nih?” sambil memerhatikan perempuan disebelah Yani, dia terlihat salah tingkah.

“Ran, aku ke sini mau refreshing aja dan kebetulan ketemu Arin di sini.” Yani menyahut dan seolah membela kebungkaman Arin si perempuan berbaju ketat itu? What?

Aku semakin geram dengan Arin, setiap kali jam istirahat di kampus perempuan itu selalu saja mendekati cowok yang sudah menjadi incaranku. Dan itu adalah kesalahan terbesarnya. Setiap kali kulayangkan pertanyaan kepada Arin, dia selalu mengelak bahwa dia tidak menyukai cowok itu.

Nampak, sepasang netra Arin yang memiliki iris biru berkaca-kaca. Mungkin saja takut melihatku yang menampakkan wajah garang. Dari sudut netranya mulai membendung cairan bening. Akankah dia akan menangis? Bodo amat.

“Ran …,” kali ini Arin melirih, ingin mengatakan sesuatu. Aku hanya meliriknya sewot.

“Ran, aku mau ngejelasin. Aku nggak pernah ada rasa cinta sama Edo. Aku sering bertanya tentangnya karena dia udah hutang sama aku.”

What? Edo memiliki hutang sama Arin dan belum dibayar? Aku menatap tubuh mungilnya bergetar. Mungkin takut aku bersikap kasar lagi seperti kemarin sore.

“Dia hutang lima ratus ribu. Dan … aku nggak begitu dekat sama dia. Aku nggak berani meminta langsung sama Edo.” Sesaat, Arin melirik ke arah Yani. Terdengar ludah tertelan dari Arin.

“Aku nggak mungkin dekat-dekat sama Edo. Aku takut, takut kalau Yani … cemburu.”

“What?! Apa hubungannya?” aku melotot, menggelengkan kepala karena masih tidak mengerti.

“Iya, Ran, aku sama Arin sekarang pacaran.” Jelas Yani sambil menggenggam tangan Arin.

Deg! Sebuah belati tajam seolah menancap tepat di ulu hati. Nyeri mendengar pengakuan dari orang yang sudah kuanggap sahabat melawan kodrat. Tiba-tiba saja pandangan di sekitarku gelap. Dan aku tidak ingat apa-apa.


Aiko Arawati merupakan mahasiswi semester akhir IAIN Kudus yang lahir di Kudus 02-02-1995. Kegiatan yang paling disenangi membaca buku, Nyekripsi, menulis blog, wattpad, selfie, syuting, jualan online, memberi konsultasi online seputar bisnis dan menulis, FB: Aiko Arawati.


Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post