Cerpen Ni
Nyoman Yuliantari
literasikalbar.com -
Cerita yang menjadi titik terendah seseorang terkadang menjadi pelecut atau pendorong untuk melakukan sesuatu lebih baik. Nah, bagaimana cerita yang dialami tokoh berupa titik terendah dan perlakuan tidak didukung oleh orang terdekat di dalam rumah? Cerita ini mengajarkan pembaca banyak hal, apalagi saat dititik terendah dan direndahkan serendah-rendahnya oleh orang tercinta dan terdekat dalam satu atap.
Warnaku
pudar, hilang ditelan waktu. kegelapan dan kesunyian selalu menemani,
menciptakan jejak sepi, menyusun kisah baru yang hampa. Aku ada, hidup tapi
mati.
Entah makian ke
berapa yang kudengar dari mulut orang tuaku yang ditujukan kepadaku. Permohonan
untuk berhenti pun tak didengar. Aku hanya bisa memucat dan menahan sakit atas
perkataan mereka. Aku membeku, menggenggam nyeri yang
tak kasat mata, sementara hujan makian terus mengguyur tanpa jeda. Setiap kata
mereka adalah peluru; setiap kalimat, ledakan yang mengguncang jiwaku. Aku, seperti
bangkai yang mereka rawat hanya untuk dibuang kembali ke jalan. Setiap
hari adalah siklus yang sama. Rumah, yang seharusnya menjadi pelukan hangat
setelah kerasnya dunia luar, kini menjelma menjadi medan perang. Mereka yang dulu kutemui sebagai pelabuhan kini menjelma
sebagai badai; tangan-tangan yang dulu menyuapi kini justru menenggelamkanku
dalam luka.
“Anak
sialan! Tak tahu terima kasih! Bukannya bangga, malah merepotkan!”
“Gila!
besok ibu bawa kamu ke rumah sakit jiwa!”
Kugigit
kuat gumpalan tisu di mulut, membungkam jeritan frustrasi yang menggelegak. “Jadi
apa aku nanti?” Pertanyaan itu kembali menghantuiku, menggantung tanpa jawaban
di langit-langit kamar. Padahal, setiap tetes keringatku selama ini kuharap
menjadi permata di mata mereka, namun yang kulihat hanyalah tatapan jijik. Di
mata mereka, aku hanyalah onggokan sia-sia yang pernah mereka pungut, kini
mereka sesali kehadirannya.
“Heh!
Anak sialan, bukannya bersih-bersih malah ngelamun. Tau diri kalau cuma
numpang!” teriak Ibu dengan nada ketusnya.
Ibu
macam apa yang menanam duri dalam dada anaknya sendiri? Menyebutnya “Ibu”
terasa seperti melafalkan kutuk—lidahku terbakar setiap mencoba. Ia selalu menyuapiku dengan luka yang dibungkus tawa,
menyajikan kepedihan dalam piring yang pernah kusebut rumah.
Aku
telah jemu dengan konser racun yang setiap hari dimainkan oleh dua sosok yang
seharusnya menjadi nadaku. Telingaku, mungkin sudah menjadi batu—tak lagi
terkejut oleh hujan kata-kata busuk yang terus menggulung dalam ruang kepalaku,
bahkan saat aku tidur. Sementara anak-anak lain berlindung dalam peluk hangat
rumah impian mereka, aku justru duduk termenung, menatap dinding yang kosong,
mencoba meramal kapan mimpi itu bisa kupinjam barang sebentar.
Rasanya
aku telah menjadi bisu dan tuli sekaligus, aku memasang benteng rapat pada
siapa pun yang mengetuk pintu jiwaku, menolak cahaya yang mencoba masuk.
“Lihat!
Serpihan sial dari kesalahan dunia,” sembur Ayah sembari memegang kepalaku lalu
membenturkannya ke cermin dinding seberang, suaranya dingin seperti besi yang
menghantam malam. Aku tertawa pelan, nyaris tak terdengar. Selalu saja begitu,
setiap kali aku mencoba bersuara seluruh nafasku dicegat. Segala gerakku,
serupa bayang-bayang yang selalu disalahkan oleh cahaya. “Kenapa?” tanyaku
lirih, suaraku lebih rapuh dari dedaunan musim gugur. “Kenapa selalu begini?”
bisikku, nyaris larut dalam angin yang lewat. Ayah menatapku sejenak, matanya
seperti langit yang enggan memuntahkan hujan. Lalu suaranya jatuh, dingin dan
tajam, “Karena kamu kutukan yang tak pernah diminta semesta.”
***
Usiaku
delapan belas tahun. Kata orang, inilah saatnya hidup mulai bersuara,
menggeliat, menuntut haknya sendiri. Tapi bagiku, usia delapan belas hanyalah
angka yang menandai lamanya aku menjadi bayangan yang tak pernah diinginkan
siapa pun.
Di
meja makan, kami duduk seperti patung yang diatur dalam museum kedinginan.
Piring-piring kosong menatap kami lebih dalam daripada mata satu sama lain.
Hanya sendok dan garpu yang berani berbicara—beradu, berisik, lalu diam.
“Kenapa
kamu diam saja?” suara Ayah mengiris seperti kaca yang retak. Aku menelan
ludah, mencoba mengumpulkan suara yang tersesat entah di mana. “Tidak ada yang
perlu dikatakan,” jawabku pelan.
Ayah
mendengus pelan, tapi nadanya mengandung gelegar petir yang disimpan. “Tentu
saja tidak. Kau memang tak pernah punya sesuatu untuk dikatakan. Bahkan suaramu
pun kalah oleh bayangan kakakmu.”
Kakakku.
Namanya selalu hadir sebagai mantra yang menggugat keberadaanku. Setiap kata
tentangnya seperti peluru, melesat dalam pujian yang sekaligus menjadi cambuk.
“Lihat kakakmu! Kerja di luar negeri, bisa beli rumah orang tuanya, nggak
pernah ngelawan.” Kalimat itu telah menjadi litani di rumah ini. Diputar
seperti rekaman usang, tapi entah mengapa masih selalu menoreh luka yang sama
dalam rongga dadaku.
Aku,
kontras dari sosoknya yang bagai matahari. Aku kabut. Aku diam yang tak
dirindukan. Di ruang tamu rumah ini, potret kakakku tergantung megah seperti
lukisan pahlawan. Sedangkan aku, bahkan cermin pun menolak menyimpan bayanganku
lebih lama dari satu kedipan.
“Kenapa
kamu nggak bisa kayak dia?” Ibu sering berkata sambil membersihkan meja, seolah
menyapu dosa dari keberadaanku bersama debu yang menempel. Aku ingin menjawab,
ingin menjelaskan bahwa aku pun pernah mencoba. Tapi bagaimana menjelaskan rasa
lapar pada mereka yang telah kenyang? Bagaimana menceritakan tentang luka
kepada mereka yang memakai sarung tangan setiap kali menyentuh hidup?
Aku
menyentuh pergelangan tanganku yang tersembunyi di balik lengan panjang
sweater—terasa sedikit nyeri. Bekas ukiran malam-malam gelap yang pernah
kunamai “teman”. Hanya garis-garis kecil, seperti goresan pada kayu lapuk, tapi
bagiku mereka adalah kalimat-kalimat yang tak pernah bisa kuucapkan lantang.
Diam-diam aku menulis ceritaku di kulitku sendiri. Bukan untuk dibaca orang,
hanya agar aku tahu: aku pernah merasa.
***
Malam
itu, aku duduk sendirian di kamar yang lebih mirip ruang tahanan. Dindingnya
dingin, ranjangnya serupa peti. Lampu remang-remang menggantung seperti
satu-satunya bintang yang tersesat. Aku membuka laptop tua warisan
kakakku—satu-satunya warisan yang kurasa benar-benar bisa kugenggam.
Kuletakkan jari di atas keyboard,
mencoba menulis. Bukan surat, bukan puisi, hanya sesuatu untuk membuktikan
bahwa pikiranku belum mati sepenuhnya. Tapi huruf-huruf tak kunjung lahir.
Tanganku kaku, jiwaku beku. Setiap kata terasa seperti mendayung perahu di
danau yang membeku.
“Anak orang itu udah bawa mobil
sendiri waktu seumuran kamu,” kata Ibu tadi pagi, saat aku menumpahkan secangkir
teh. Tatapannya menusuk, bukan karena marah, tapi karena kecewa yang ditumpuk
terlalu lama. Aku bukan hanya gagal, aku adalah perbandingan yang tak pernah
bisa menang. Di dalam kepalaku, suara mereka memantul seperti gema dari gua tak
berdasar. “Kamu nggak bisa apa-apa.” “Pakai otakmu itu dong.” “Bodoh.” “Numpang
hidup.” Kalimat-kalimat itu bergulir seperti roda gerobak tua, menggilas
sisa-sisa harga diriku yang tinggal remah.
Aku pernah bertanya kepada
Tuhan—kalau Dia ada—kenapa menciptakan aku dalam versi ini? Kenapa tidak
membuatku seperti kakakku? Atau paling tidak, menghapus rasa ini, rasa ingin
dicintai yang selalu berakhir menjadi luka karena terlalu sering ditolak.
Pernah suatu malam, aku berdoa
dengan suara bergetar. Bukan minta bahagia, hanya minta dibiarkan mati tanpa
rasa sakit. Tapi pagi tetap datang. Matahari tetap memaksa masuk lewat celah
jendela, mengingatkanku bahwa kutukan ini belum selesai.
Sejak kecil, aku belajar membaca
raut wajah lebih dari huruf. Aku tahu kapan Ayah akan marah hanya dari gesekan
napasnya. Aku tahu kapan Ibu akan menghina hanya dari tatapan mata yang
mengeras seperti batu karang. Tak ada satu pun prestasi yang bisa membuat
mereka bangga. Nilai tinggi? Dibilang menyuap guru. Dapat beasiswa? Katanya
hanya keberuntungan sesaat.
Aku mulai takut menatap cermin. Di
sana, aku melihat wajah seseorang yang tak diinginkan siapa pun. Aku mulai menghindari
makan bersama. Aku menolak bertemu teman. Aku mengurung diri, bukan karena
malas, tapi karena di dalam kamar, setidaknya aku tak perlu menahan napas
setiap detik.
Sampai suatu malam, aku menulis:
Jika aku menghilang, apakah mereka
akan menyadari bahwa bangku makan kosong?
Ataukah mereka akan lega karena tak
perlu menatap wajah yang mereka benci setiap pagi?
Kertas itu kutempel di dinding.
Tidak untuk mereka baca, tapi sebagai pengingat bahwa aku pernah jujur pada
rasa sakitku.
Lalu datang malam yang tak lagi bisa
kutahan. Saat napas terasa seperti serpih kaca di dalam dada, saat pikiranku
seperti lorong panjang tanpa cahaya. Aku duduk di lantai kamar mandi, gemetar,
menatap air mengalir dari keran.
Aku ingin hilang. Benar-benar
hilang. Aku ingin berhenti merasa. Berhenti menjadi beban. Tapi bahkan dalam
keputusasaan pun, ada suara kecil entah milik siapa yang berbisik, “Tunggu
sebentar lagi.”
Dan aku menunggu.
Sampai fajar datang dengan enggan.
Sampai aku bisa berdiri walau
lututku gemetar.
Keesokan harinya, Ayah kembali
berteriak. Tapi kali ini aku tidak menjawab. Ibu kembali menghina. Tapi aku
tidak menangis. Aku hanya diam, tapi bukan lagi diam yang menyerah—diam yang
bersiap pergi.
Kuhitung detik demi detik sebelum
aku pergi dari rumah itu. Aku tak membawa banyak. Hanya baju secukupnya,
catatan harian, dan foto kecil diriku saat masih bayi, satu-satunya waktu di
mana aku mungkin pernah dicintai.
Sebelum keluar, aku menulis satu
kalimat di cermin kamar dengan spidol:
“Jika kalian merasa lega karena
aku tak ada, maka kepergianku adalah hadiah pertama dan terakhir yang bisa
kuberikan.”
Setelah menulis kalimat terakhir di
cermin itu, aku berjalan keluar rumah. Tidak dengan air mata, tidak juga dengan
amarah. Hanya sunyi yang menuntunku pergi. Aku tidak tahu ke mana akan
melangkah, yang kutahu: aku tidak akan kembali. Langkah-langkahku
membawaku menuju terminal, ke kota yang bahkan belum kupilih. Tak ada peta, tak
ada rencana. Aku hanya ingin jauh. Aku hanya ingin bukan di sana. Aku naik kereta pertama, membiarkan roda-roda itu membawa
tubuhku jauh dari kenangan. Entah ke kota, entah ke desa. Di dalam kereta, aku
memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak bermimpi
buruk. Hanya gelap yang lembut.
***
Tiga tahun berlalu
Aku mendengar kabar bahwa ada seseorang
mengetuk pintu rumah orang tuaku. Saat dibuka, mereka menemukan kotak besar
tanpa nama, tanpa pengirim. Ayah mengernyit, Ibu memelototi benda itu seolah
benda itu mengganggu pagi mereka. Tapi mereka membukanya juga. Isinya: ratusan
lembar surat. Tiap surat ditulis dengan tinta hitam rapi di atas kertas berkop
rumah sakit jiwa. Semuanya bertanda tangan—namaku.
Di surat-surat itu aku menulis ulang
setiap kejadian di rumah. Setiap kata makian. Setiap kalimat hinaan. Tapi kali
ini, semua kubalas dengan satu hal: tawa. Surat-surat itu bukan penuh dendam,
melainkan berisi catatan yang diputarbalik—kisah yang sama, tapi ditulis seolah
aku bahagia karena mereka menyiksaku.
“Hari ini Ayah membenturkan kepalaku
ke cermin lagi. Aku senang, karena akhirnya aku bisa melihat serpih wajahku di
banyak sudut ruangan!”
Atau:
“Ibu memanggilku anak sialan.
Kupikir itu panggilan sayang versi rumah ini. Aku akan merindukannya kalau
suatu hari Ibu mati.”
Ibu membaca sepuluh surat pertama. Wajahnya
memucat. Ayah membakar sebagian isinya, tapi surat-surat itu sudah telanjur
tertanam di kepala mereka. Dua bulan kemudian, rumah itu kosong. Ayah kabur.
Ibu dirawat di rumah sakit jiwa yang sama dengan nama yang tercantum di surat.
Ironi yang manis.
Sementara itu, di kota lain, aku
duduk di kursi bar kecil, membacakan potongan surat-surat itu sebagai bagian
dari pertunjukan puisi keliling. Orang-orang tertawa, menangis, bertepuk
tangan. Mereka menyangka itu hanya karya seni.
Mereka tak tahu, bahwa semua itu
nyata. Bahwa aku yang mereka sebut jenius satire hanyalah anak yang pernah
menulis surat kematian, tapi memilih hidup hanya untuk membalas dengan seni.
Kadang, kemenangan bukan soal
membalas, tapi soal tidak mengulang luka yang sama.
Dan aku?
Aku masih hidup.
Bukan sempurna. Tapi cukup untuk tidak ingin mati hari ini.


Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon