Oleh St Sulha Darmaini
literasikalbar.com - Cerita remaja yang menceritakan ulang kejadian seorang remaja yang ingin melakukan tindakan tanpa arahan orang lain yang dianggap seperti belenggu. Ia ingin lepas terhadap hal yang menjadi tuntutan orang lain dalam tindakannya. Bagaimana akhir tokoh cerita, apakah ia akan terus bertindak menyenangkan orang lain atau malah sebaliknya.
            Dia
memandangi selembar kertas yang sudah tergurat tinta berwarna hitam dalam diam.
Perempuan itu menahan napas selama beberapa detik, berusaha melapangkan dada
saat melihat angka yang tersemat dalam kotak pojok kanan kertas. Perasaan
kecewa meletup-letup dalam dadanya diiringi pertanyaan, mengapa bisa begini?
Bukankah aku sudah berusaha? Biasanya juga nggak begini? Berulang kali Widya
mempertanyakan hal yang sama meski ia tahu kalau itu tidak akan merubah
apa-apa.
            Dia
hanya kecewa pada dirinya sendiri karena tak berusaha lebih maksimal lagi.
Padahal ini adalah masalah sepele untuk anak seusianya, remaja 16 tahun yang
sebentar lagi akan naik kelas akhir sekolah menengah atas. Berkali-kali Widya
memberikan nasihat yang sama, kalimat ‘nggak apa-apa’ selalu terlontar dari
bibirnya saat ada teman sekelas yang mengeluh tentang nilai-nilai tersebut dan
pada saat dia merasakan juga, Widya paham ternyata kalimat itu tidak  bermakna apa-apa. Tidak ada yang berubah,
kecewa tetap ada.
“Kamu dapat 65? Riana dapat 90,
lho! Dia nggak masuk tiga besar tapi bisa ngalahin kamu yang peringkat satu.
Wah, gila, sih!” seru perempuan berkacamata yang Widya kenal sebagai bendahara
kelas.
“Lagi kurang beruntung aja.
Biasanya meskipun aku nggak belajar selalu dapat 80 lebih,” ucap Widya, seraya
melipat kertas ulangan geografi dan menyisipkan dalam buku paket.
“Kok bisa dapat 65, Wid?
Biasanya, nilai kamu di atas 80 lebih.”
“Jangan kebanyakan baca novel
makanya!” 
“Fokus belajar dulu, Wid, buat
semesteran.”
“Betul. Nanti peringkat kamu
turun, memangnya mau kesenggol sama si Sulha?”
“Serius dapat 65? Lebih gede
nilai aku dong.”
“Selalu dapat ranking satu di
kelas pasti bikin kamu malas belajar, ya?”
Gelak tawa memenuhi kelas
11-IPS 2. Widya berusaha mengangkat kedua sudut bibirnya walaupun susah payah,
walaupun hatinya tak ikhlas, dan saat ini dia hanya ingin keluar dari ruangan
ini. Alih-alih beranjak, Widya justru terdiam di tempat duduk semakin lekat
dengan kursi. Mungkin maksud teman-temannya baik, supaya Widya semakin lebih
semangat untuk belajar lagi atau sebagainya tetapi dia tak butuh.
Dia tidak pernah meminta untuk
dipuji saat meraih nilai paling tinggi atau dukungan saat Pak Ali-wali kelas
mereka, memintanya menjadi ketua kelas. Dia tidak pernah sekalipun menuntut
apa-apa dari mereka tetapi mengapa seolah mereka mengatur hidupnya? Widya ingin
bersuara, menyatakan bahwa dirinya sama dengan mereka.
Namun, suara itu tertahan
ditenggorokan, tidak pernah bisa keluar seperti yang ia harapkan karena
lagi-lagi dia terhalang oleh sesuatu yang sebenarnya berat untuk ia lakukan.
Memenuhi ekspektasi orang lain.
Dia ingin keluar dari belenggu
ini. Hidup bebas tanpa harapan orang jatuh di pundaknya, melakukan hal yang ia
suka, dan berusaha semampu dirinya. Widya merasa sudah sangat sakit, ketika
gagal maka kecewa yang ia rasa akan lebih besar daripada saat keinginan
pribadinya tak tercapai.
Memangnya dia siapa harus
mewujudkan ekspektasi orang lain? Mengapa anak sulung sepertinya harus selalu
berhasil? Menjadi ketua kelas tidak harus selalu pintar dan jenius, bukan?
Mengapa ia tidak boleh gagal dan merasa sedih bahkan kecewa? Ia juga manusia,
menjadi paling terlihat tidak semenyenangkan itu. Senyuman yang dia berikan
hanya bentuk kamuflase bahwa dirinya tertekan. 
Suasana kelas dipenuhi suara
obrolan siswa yang saling bertukar cerita, tawa berderai di beberapa sudut,
sementara sebagian lain bergegas keluar menyambut pergantian jam pelajaran. Di
tengah riuh itu, Widya duduk diam, menatap papan tulis yang masih penuh coretan
rumus. Tapi pikirannya tak berada di sana.
Ingatan itu kembali mengisi
kepalanya—percakapan dengan Sulha beberapa waktu lalu, di sudut halaman
sekolah, tepat di dekat pagar tempat ibadah.
Widya berdiri dengan tangan
terlipat di depan dada, matanya menelusuri daun-daun hijau yang bergerak pelan
diterpa angin sore. “Aku mulai lelah dengan semua ini,” gumamnya, suaranya
hampir tenggelam oleh gemerisik dedaunan.
Sulha, yang bersandar santai di
pagar, meliriknya sekilas. “Semua ini?” tanyanya, meski ia seolah sudah tahu
jawaban yang akan keluar.
Widya menghela napas panjang.
“Aku mau jadi siswa yang biasa-biasa saja. Yang kalau nilainya di bawah KKM
nggak bakal ditatap heran sama guru. Yang kalau kalah di lomba nggak bakal
dikasih tatapan penuh rasa sayang seolah aku harusnya bisa lebih baik.” Tangannya
mengepal, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diutarakan lebih lanjut.
Sulha menggeser posisi, kini
berdiri tegak sambil menatap Widya lurus. “Kalau gitu, istirahatlah.” Ucapannya
tegas, nyaris tanpa ragu. “Nggak usah maksain diri buat sesuatu yang kamu
sendiri nggak suka. Itu namanya buang-buang energi.”
Widya mendongak, menatap Sulha
yang tampak begitu tenang dalam sikapnya.
Sulha melanjutkan, "Kamu nggak bisa
terus-terusan hidup untuk menyenangkan orang lain sementara dirimu sendiri
merasa tertekan. Kebahagiaan itu bukan cuma tentang memenuhi ekspektasi mereka,
tapi juga tentang bagaimana kamu bisa merasa damai dengan pilihanmu sendiri. Kalau
terus seperti ini, apa gunanya semua pencapaian itu kalau hatimu sendiri nggak
tenang?"
Hening sejenak. Hanya suara
angin yang berembus, membawa aroma dedaunan yang menghangatkan sore itu. Widya
tidak langsung menjawab. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Sulha menggema.
Mungkin, untuk pertama kalinya, ia terlintas berpikir untuk berhenti sejenak.
Di
bawah langit sore yang mulai berwarna jingga, angin berembus lembut melewati
halaman sekolah. Daun-daun di dekat pagar tempat ibadah bergoyang pelan,
menciptakan bayangan yang menari di atas tanah. Widya berdiri di sana,
tangannya mengepal di sisi tubuhnya, suaranya sedikit bergetar saat ia akhirnya
mengungkapkan apa yang selama ini membebaninya.
"Tapi aku harus,"
suaranya terdengar nyaris putus asa. "Aku
punya kewajiban. Orang tuaku pengen aku masuk kampus negeri biar adik-adikku
termotivasi. Guru-guru berharap aku bisa mempertahankan peringkat dan dapat
nilai sempurna saat lulus nanti. Teman sekelas pun berharap aku tetap bisa
ngalahin kamu di juara kelas tahun ini."
Widya
menunduk, matanya terasa panas. Ada beban yang begitu berat di pundaknya,
sesuatu yang selama ini ia tahan sendiri. Sulha mendesah pelan, menatap Widya dengan mata yang sulit
ditebak. Ia menggeser posisi, sedikit memiringkan tubuh agar bisa melihat sisi
kiri wajah Widya lebih jelas.
"Nggak ada aturan, Widya," katanya, suaranya tenang tapi
tegas. "Dunia
ini nggak akan berhenti berputar cuma karena kamu merasa terbebani ekspektasi
orang lain. Kamu yang pegang kendali atas hidupmu, bukan mereka. Kalau kamu
terus-terusan memikirkan perasaan semua orang, ujung-ujungnya yang paling
tersiksa cuma kamu sendiri."
Widya
diam. Kata-kata Sulha menggema di telinganya, tapi entah mengapa terasa sulit
untuk diterima.
Sulha
melanjutkan, "Keinginan orang tua
dan guru itu penting, begitu juga dukungan dari teman-temanmu. Tapi pada
akhirnya, semuanya kembali ke kamu. Karena cuma kamu yang tahu seberapa berat
proses ini. Orang lain hanya akan melihat hasilnya. Kalau kamu berhasil, mereka
akan bangga. Tapi kalau kamu gagal…" Sulha menarik napas sejenak
sebelum menyelesaikan kalimatnya, "…mereka
nggak akan peduli."
Widya
terdiam, seperti dihantam kenyataan yang selama ini ia hindari. Angin sore
kembali berembus, membelai pelan kepalanya. Ada sesuatu yang bergetar dalam
dadanya—rasa takut, keraguan, dan keinginan untuk menemukan jawabannya sendiri.
Jika diibaratkan kata-kata Sulha adalah batu
raksasa yang menimpa tumbuhan nyaris layu, yaitu Widya. Perempuan itu sudah
berada diambang putus asa.
“What should I do?”
tanya Widya, nelangsa.
“Cari tujuan kamu sendiri.
Jalan dan berusaha untuk sampai di sana. Ini hidup kamu, Wid. Orang tua nggak
salah ikut andil karena mereka pasti mau yang terbaik buat anaknya, tapi
pertanyaannya, apa kamu bahagia dan nyaman? Kalau nggak, leave it, sewajarnya aja,” seloroh Sulha.
Widya menoleh, tatapan tanpa
harapan dari sorot matanya dapat dilihat Sulha dengan jelas. “Terus gimana sama
orang-orang yang naruh harapan sama aku?”
Sulha menarik napas, dia
menyimpan sebelah tangannya di saku rok 
seragam abu dan menatap Widya.
“Hidup kamu harus jadi
prioritas kamu sendiri. Egois sekali-sekali nggak akan bikin kamu mati muda.
Asal tujuan kamu jelas dan berguna, silahkan jalani. Nanti kalau hasilnya udah
ada, orang-orang secara otomatis akan mengapresiasi itu. Kuncinya hanya satu,
keberhasilan,” ucap Sulha, telak.
Pada saat itu Wida hanya
mematung dan kembali disadarkan oleh bel masuk istirahat yang berbunyi nyaring.
Butuh waktu untuk mencerna kalimat Sulha, selama ini orang-orang berandai ingin
sepertinya, menjadi juara kelas yang serba bisa dan berbakat tanpa pernah tahu
betapa monoton dan membosankan hidupnya.
Kini Widya mulai paham maksud
Sulha. Tidak ada yang benar-benar berharap padanya. Mereka hanya ingin ia
mencapai keberhasilan. Orang tua hanya ingin ia memilih jalan yang sudah pasti
dan guru juga ingin menjaganya agar tetap menjadi kebanggan sekolah. Tidak ada
yang salah, jika ia bisa maka akan menjadi prestasi berikutnya yang ia raih.
Widya akan mencari tujuan yang
bisa membuat ia bahagia seperti kata Sulha tetapi juga tetap bisa membanggakan
kedua orang tua dan para guru yang selama ini telah membimbingnya. Belenggu
bernama harapan yang dari dulu melingkari dirinya perlahan terlepas, bersamaan
dengan asa baru yang tak sabar untuk ia gapai.
"Widya, dipanggil Sulha tuh." Nopi, teman sebangkunya, menepuk pundaknya
pelan.
Widya tersentak dari
lamunannya, seolah baru saja ditarik kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dan
menemukan sosok Sulha berdiri di ambang pintu. Perempuan itu tampak santai,
salah satu tangannya terselip di saku rok seragam hijaunya. Sepertinya, ia baru
kembali dari ruang OSIS. Tanpa banyak bicara, Widya bangkit dari kursinya dan
melangkah keluar, meninggalkan kelas seperti yang diam-diam ia inginkan sejak
tadi.
"Ada apa?" tanyanya singkat.
Sulha menatapnya sekilas
sebelum menyunggingkan senyum tipis. "Nggak apa-apa, cuma pengen lihat kamu masih
waras atau udah meledak."
Widya mendesah, setengah kesal.
"Kalau
aku udah meledak, mau bantu bersihin serpihannya?"
"Tergantung, meledaknya bakal sekeren kembang
api atau cuma kayak balon bocor?" Sulha kemudian tertawa pelan. “Kamu dipanggil
sama Ummi Diyah. Soal dokumentasi Sabtu Literasi kemarin.”
“Oke, dimana? Aula?” tanya
Widya. Keduanya berjalan beriringan. Sulha jauh terlihat hiperaktif jika
bersanding dengan Widya yang tampak datar dan tidak ingin hidup. Perempuan itu
mengoceh sepanjang jalan hingga tiba di depan pintu aula.
“Ulangan harian geografi aku
dapat 65,” kata Widya, kedua tangannya digunakan untuk membuka sepatu.
Sulha melihatnya dengan wajah
yang sulit diartikan, kemudan ia tesenyum lebar seraya mengangguk pelan. “Udah
tau, anak-anak kelas pada gosipin kamu. Tapi dapat 65 bukan berarti kamu bakal
mati kan? Buktinya kamu masih hidup.”
Lama, hingga 10 detik
berikutnya Widya baru bereaksi. Kedua sudut bibirnya terangkat lalu sebuah
semburan tawa terdengar. Sulha ikut tertawa, dia lega karena tak lagi melihat
sisi ringkih rivalnya seperti tempo hari. Bahwa keyakinannya benar jika Widya bisa
lebih kuat dari pada itu. Mereka sama-sama selalu dibebankan dengan harapan
orang lain tetapi Sulha tidak pernah ambil pusing dan peduli seperti Widya.
“Seseorang pernah bilang ke
aku, kalau rumus keberhasilan adalah jangan berharap. Dan itu valid.”
-SELESAI-
St Sulha
Darmaini adalah seorang mahasiswi semester enam yang tengah
mendalami dunia kepenulisan melalui mata kuliah Penulisan Kreatif Sastra. Ia mengirimkan naskah ini sebagai
bagian dari proses pembersihan draft
lama, sekaligus menyelesaikan tugas akhir semester.
Selain sibuk dengan perkuliahan,
Sulha aktif menulis dan membagikan karya-karyanya di platform digital. Jika tertarik membaca lebih banyak tulisannya,
kalian bisa menemukannya di Instagram: @wattpaad.s.


Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon