Senin, 03 November 2025

Belenggu itu Bernama Harapan

author photo

 Oleh St Sulha Darmaini

literasikalbar.com - Cerita remaja yang menceritakan ulang kejadian seorang remaja yang ingin melakukan tindakan tanpa arahan orang lain yang dianggap seperti belenggu. Ia ingin lepas terhadap hal yang menjadi tuntutan orang lain dalam tindakannya. Bagaimana akhir tokoh cerita, apakah ia akan terus bertindak menyenangkan orang lain atau malah sebaliknya.


Belenggu itu Bernama Harapan

            Dia memandangi selembar kertas yang sudah tergurat tinta berwarna hitam dalam diam. Perempuan itu menahan napas selama beberapa detik, berusaha melapangkan dada saat melihat angka yang tersemat dalam kotak pojok kanan kertas. Perasaan kecewa meletup-letup dalam dadanya diiringi pertanyaan, mengapa bisa begini? Bukankah aku sudah berusaha? Biasanya juga nggak begini? Berulang kali Widya mempertanyakan hal yang sama meski ia tahu kalau itu tidak akan merubah apa-apa.

            Dia hanya kecewa pada dirinya sendiri karena tak berusaha lebih maksimal lagi. Padahal ini adalah masalah sepele untuk anak seusianya, remaja 16 tahun yang sebentar lagi akan naik kelas akhir sekolah menengah atas. Berkali-kali Widya memberikan nasihat yang sama, kalimat ‘nggak apa-apa’ selalu terlontar dari bibirnya saat ada teman sekelas yang mengeluh tentang nilai-nilai tersebut dan pada saat dia merasakan juga, Widya paham ternyata kalimat itu tidak  bermakna apa-apa. Tidak ada yang berubah, kecewa tetap ada.

“Kamu dapat 65? Riana dapat 90, lho! Dia nggak masuk tiga besar tapi bisa ngalahin kamu yang peringkat satu. Wah, gila, sih!” seru perempuan berkacamata yang Widya kenal sebagai bendahara kelas.

“Lagi kurang beruntung aja. Biasanya meskipun aku nggak belajar selalu dapat 80 lebih,” ucap Widya, seraya melipat kertas ulangan geografi dan menyisipkan dalam buku paket.

“Kok bisa dapat 65, Wid? Biasanya, nilai kamu di atas 80 lebih.”

“Jangan kebanyakan baca novel makanya!”

“Fokus belajar dulu, Wid, buat semesteran.”

“Betul. Nanti peringkat kamu turun, memangnya mau kesenggol sama si Sulha?”

“Serius dapat 65? Lebih gede nilai aku dong.”

“Selalu dapat ranking satu di kelas pasti bikin kamu malas belajar, ya?”

Gelak tawa memenuhi kelas 11-IPS 2. Widya berusaha mengangkat kedua sudut bibirnya walaupun susah payah, walaupun hatinya tak ikhlas, dan saat ini dia hanya ingin keluar dari ruangan ini. Alih-alih beranjak, Widya justru terdiam di tempat duduk semakin lekat dengan kursi. Mungkin maksud teman-temannya baik, supaya Widya semakin lebih semangat untuk belajar lagi atau sebagainya tetapi dia tak butuh.

Dia tidak pernah meminta untuk dipuji saat meraih nilai paling tinggi atau dukungan saat Pak Ali-wali kelas mereka, memintanya menjadi ketua kelas. Dia tidak pernah sekalipun menuntut apa-apa dari mereka tetapi mengapa seolah mereka mengatur hidupnya? Widya ingin bersuara, menyatakan bahwa dirinya sama dengan mereka.

Namun, suara itu tertahan ditenggorokan, tidak pernah bisa keluar seperti yang ia harapkan karena lagi-lagi dia terhalang oleh sesuatu yang sebenarnya berat untuk ia lakukan. Memenuhi ekspektasi orang lain.

Dia ingin keluar dari belenggu ini. Hidup bebas tanpa harapan orang jatuh di pundaknya, melakukan hal yang ia suka, dan berusaha semampu dirinya. Widya merasa sudah sangat sakit, ketika gagal maka kecewa yang ia rasa akan lebih besar daripada saat keinginan pribadinya tak tercapai.

Memangnya dia siapa harus mewujudkan ekspektasi orang lain? Mengapa anak sulung sepertinya harus selalu berhasil? Menjadi ketua kelas tidak harus selalu pintar dan jenius, bukan? Mengapa ia tidak boleh gagal dan merasa sedih bahkan kecewa? Ia juga manusia, menjadi paling terlihat tidak semenyenangkan itu. Senyuman yang dia berikan hanya bentuk kamuflase bahwa dirinya tertekan.

Suasana kelas dipenuhi suara obrolan siswa yang saling bertukar cerita, tawa berderai di beberapa sudut, sementara sebagian lain bergegas keluar menyambut pergantian jam pelajaran. Di tengah riuh itu, Widya duduk diam, menatap papan tulis yang masih penuh coretan rumus. Tapi pikirannya tak berada di sana.

Ingatan itu kembali mengisi kepalanya—percakapan dengan Sulha beberapa waktu lalu, di sudut halaman sekolah, tepat di dekat pagar tempat ibadah.

Widya berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, matanya menelusuri daun-daun hijau yang bergerak pelan diterpa angin sore. “Aku mulai lelah dengan semua ini,” gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh gemerisik dedaunan.

Sulha, yang bersandar santai di pagar, meliriknya sekilas. “Semua ini?” tanyanya, meski ia seolah sudah tahu jawaban yang akan keluar.

Widya menghela napas panjang. “Aku mau jadi siswa yang biasa-biasa saja. Yang kalau nilainya di bawah KKM nggak bakal ditatap heran sama guru. Yang kalau kalah di lomba nggak bakal dikasih tatapan penuh rasa sayang seolah aku harusnya bisa lebih baik.” Tangannya mengepal, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diutarakan lebih lanjut.

Sulha menggeser posisi, kini berdiri tegak sambil menatap Widya lurus. “Kalau gitu, istirahatlah.” Ucapannya tegas, nyaris tanpa ragu. “Nggak usah maksain diri buat sesuatu yang kamu sendiri nggak suka. Itu namanya buang-buang energi.”

Widya mendongak, menatap Sulha yang tampak begitu tenang dalam sikapnya.

Sulha melanjutkan, "Kamu nggak bisa terus-terusan hidup untuk menyenangkan orang lain sementara dirimu sendiri merasa tertekan. Kebahagiaan itu bukan cuma tentang memenuhi ekspektasi mereka, tapi juga tentang bagaimana kamu bisa merasa damai dengan pilihanmu sendiri. Kalau terus seperti ini, apa gunanya semua pencapaian itu kalau hatimu sendiri nggak tenang?"

Hening sejenak. Hanya suara angin yang berembus, membawa aroma dedaunan yang menghangatkan sore itu. Widya tidak langsung menjawab. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Sulha menggema. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia terlintas berpikir untuk berhenti sejenak.

Di bawah langit sore yang mulai berwarna jingga, angin berembus lembut melewati halaman sekolah. Daun-daun di dekat pagar tempat ibadah bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di atas tanah. Widya berdiri di sana, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, suaranya sedikit bergetar saat ia akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini membebaninya.

"Tapi aku harus," suaranya terdengar nyaris putus asa. "Aku punya kewajiban. Orang tuaku pengen aku masuk kampus negeri biar adik-adikku termotivasi. Guru-guru berharap aku bisa mempertahankan peringkat dan dapat nilai sempurna saat lulus nanti. Teman sekelas pun berharap aku tetap bisa ngalahin kamu di juara kelas tahun ini."

Widya menunduk, matanya terasa panas. Ada beban yang begitu berat di pundaknya, sesuatu yang selama ini ia tahan sendiri. Sulha mendesah pelan, menatap Widya dengan mata yang sulit ditebak. Ia menggeser posisi, sedikit memiringkan tubuh agar bisa melihat sisi kiri wajah Widya lebih jelas.

"Nggak ada aturan, Widya," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Dunia ini nggak akan berhenti berputar cuma karena kamu merasa terbebani ekspektasi orang lain. Kamu yang pegang kendali atas hidupmu, bukan mereka. Kalau kamu terus-terusan memikirkan perasaan semua orang, ujung-ujungnya yang paling tersiksa cuma kamu sendiri."

Widya diam. Kata-kata Sulha menggema di telinganya, tapi entah mengapa terasa sulit untuk diterima.

Sulha melanjutkan, "Keinginan orang tua dan guru itu penting, begitu juga dukungan dari teman-temanmu. Tapi pada akhirnya, semuanya kembali ke kamu. Karena cuma kamu yang tahu seberapa berat proses ini. Orang lain hanya akan melihat hasilnya. Kalau kamu berhasil, mereka akan bangga. Tapi kalau kamu gagal…" Sulha menarik napas sejenak sebelum menyelesaikan kalimatnya, "…mereka nggak akan peduli."

Widya terdiam, seperti dihantam kenyataan yang selama ini ia hindari. Angin sore kembali berembus, membelai pelan kepalanya. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya—rasa takut, keraguan, dan keinginan untuk menemukan jawabannya sendiri.

Jika diibaratkan kata-kata Sulha adalah batu raksasa yang menimpa tumbuhan nyaris layu, yaitu Widya. Perempuan itu sudah berada diambang putus asa.

“What should I do?” tanya Widya, nelangsa.

“Cari tujuan kamu sendiri. Jalan dan berusaha untuk sampai di sana. Ini hidup kamu, Wid. Orang tua nggak salah ikut andil karena mereka pasti mau yang terbaik buat anaknya, tapi pertanyaannya, apa kamu bahagia dan nyaman? Kalau nggak, leave it, sewajarnya aja,” seloroh Sulha.

Widya menoleh, tatapan tanpa harapan dari sorot matanya dapat dilihat Sulha dengan jelas. “Terus gimana sama orang-orang yang naruh harapan sama aku?”

Sulha menarik napas, dia menyimpan sebelah tangannya di saku rok  seragam abu dan menatap Widya.

“Hidup kamu harus jadi prioritas kamu sendiri. Egois sekali-sekali nggak akan bikin kamu mati muda. Asal tujuan kamu jelas dan berguna, silahkan jalani. Nanti kalau hasilnya udah ada, orang-orang secara otomatis akan mengapresiasi itu. Kuncinya hanya satu, keberhasilan,” ucap Sulha, telak.

Pada saat itu Wida hanya mematung dan kembali disadarkan oleh bel masuk istirahat yang berbunyi nyaring. Butuh waktu untuk mencerna kalimat Sulha, selama ini orang-orang berandai ingin sepertinya, menjadi juara kelas yang serba bisa dan berbakat tanpa pernah tahu betapa monoton dan membosankan hidupnya.

Kini Widya mulai paham maksud Sulha. Tidak ada yang benar-benar berharap padanya. Mereka hanya ingin ia mencapai keberhasilan. Orang tua hanya ingin ia memilih jalan yang sudah pasti dan guru juga ingin menjaganya agar tetap menjadi kebanggan sekolah. Tidak ada yang salah, jika ia bisa maka akan menjadi prestasi berikutnya yang ia raih.

Widya akan mencari tujuan yang bisa membuat ia bahagia seperti kata Sulha tetapi juga tetap bisa membanggakan kedua orang tua dan para guru yang selama ini telah membimbingnya. Belenggu bernama harapan yang dari dulu melingkari dirinya perlahan terlepas, bersamaan dengan asa baru yang tak sabar untuk ia gapai.

"Widya, dipanggil Sulha tuh." Nopi, teman sebangkunya, menepuk pundaknya pelan.

Widya tersentak dari lamunannya, seolah baru saja ditarik kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dan menemukan sosok Sulha berdiri di ambang pintu. Perempuan itu tampak santai, salah satu tangannya terselip di saku rok seragam hijaunya. Sepertinya, ia baru kembali dari ruang OSIS. Tanpa banyak bicara, Widya bangkit dari kursinya dan melangkah keluar, meninggalkan kelas seperti yang diam-diam ia inginkan sejak tadi.

"Ada apa?" tanyanya singkat.

Sulha menatapnya sekilas sebelum menyunggingkan senyum tipis. "Nggak apa-apa, cuma pengen lihat kamu masih waras atau udah meledak."

Widya mendesah, setengah kesal. "Kalau aku udah meledak, mau bantu bersihin serpihannya?"

"Tergantung, meledaknya bakal sekeren kembang api atau cuma kayak balon bocor?" Sulha kemudian tertawa pelan. “Kamu dipanggil sama Ummi Diyah. Soal dokumentasi Sabtu Literasi kemarin.”

“Oke, dimana? Aula?” tanya Widya. Keduanya berjalan beriringan. Sulha jauh terlihat hiperaktif jika bersanding dengan Widya yang tampak datar dan tidak ingin hidup. Perempuan itu mengoceh sepanjang jalan hingga tiba di depan pintu aula.

“Ulangan harian geografi aku dapat 65,” kata Widya, kedua tangannya digunakan untuk membuka sepatu.

Sulha melihatnya dengan wajah yang sulit diartikan, kemudan ia tesenyum lebar seraya mengangguk pelan. “Udah tau, anak-anak kelas pada gosipin kamu. Tapi dapat 65 bukan berarti kamu bakal mati kan? Buktinya kamu masih hidup.”

Lama, hingga 10 detik berikutnya Widya baru bereaksi. Kedua sudut bibirnya terangkat lalu sebuah semburan tawa terdengar. Sulha ikut tertawa, dia lega karena tak lagi melihat sisi ringkih rivalnya seperti tempo hari. Bahwa keyakinannya benar jika Widya bisa lebih kuat dari pada itu. Mereka sama-sama selalu dibebankan dengan harapan orang lain tetapi Sulha tidak pernah ambil pusing dan peduli seperti Widya.

“Seseorang pernah bilang ke aku, kalau rumus keberhasilan adalah jangan berharap. Dan itu valid.”

-SELESAI-


St Sulha Darmaini adalah seorang mahasiswi semester enam yang tengah mendalami dunia kepenulisan melalui mata kuliah Penulisan Kreatif Sastra. Ia mengirimkan naskah ini sebagai bagian dari proses pembersihan draft lama, sekaligus menyelesaikan tugas akhir semester.

Selain sibuk dengan perkuliahan, Sulha aktif menulis dan membagikan karya-karyanya di platform digital. Jika tertarik membaca lebih banyak tulisannya, kalian bisa menemukannya di Instagram: @wattpaad.s.

 

 

Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post