Sabtu, 01 November 2025

Cerpen Pusara Tanpa Nama

author photo

Cerpen Bella Paring Gusti

literasikalbar.com - Cerita yang unik tentang seorang anak yang memiliki sikap berbeda dengan teman sebayanya. Penulis menyajikan cerita yang unik dan membuat pembaca penasaran.

Cerpen Pusara Tanpa Nama

Tengah malam begini tubuh Surti bergetar hebat. Bukan karena dia melihat hantu, bukan. Pandangannya kini justru karam pada seorang bocah lelaki yang tengah tertawa melengking dan sedang menggali sebuah kubangan tanah di kebun belakang rumah. Sulung, anaknya yang masih berusia dua belas di tahun ini dia kenal sebagai pribadi pintar, penurut, berpikiran dewasa, dan rajin mengaji. Jadi tak mungkin jika anak itu melakukan pembunuhan atau tindakan kriminalitas, lantas mengubur jasadnya di sana. Tetapi, entah mengapa, sekujur bulu roma Surti meremang.


Sejak malam itu, Surti cemas bukan kepalang. Diam-diam dia lebih memperhatikan tiap tindak tanduk anaknya ketika di rumah. Di saat yang sama, dia menemukan lebih banyak lagi anomali beberapa minggu terakhir ini yang dilakukan oleh si Sulung─demikian dia menamainya sebab sejujurnya ada harapan bahwa Sulung bukanlah satu-satunya buah kandung yang lahir dari rahimnya. Mula-mula Surti menemukan Sulung berdoa sembari menangis sesaat setelah dia menyibak kain gorden lusuh yang menjadi pembatas kamar perjakanya. Sayangnya, sepasang kaki Surti hanya memaku selama melihat Sulung sedang khusyuk sujud di atas sajadah. Kesadarannya baru kembali setelah bocah itu menuntaskan salat, lalu menoleh mendapati dirinya. Namun, ketika Sulung bertanya apa yang menjadi tujuan ibunya kemari, Surti menggeleng dan memilih cepat-cepat pergi.


Di waktu-waktu berikutnya si Sulung lebih banyak diam. Surti jadi merenung apakah sungguh putranya tersebut telah melakukan perbuatan biadab nan keji, dan menguburkannya tepat di belakang rumah mereka. Namun, berbagai kekhawatirannya kian menjadi-jadi tatkala dia mengetahui bahwa Sulung melancarkan aksi mencurigakan itu selama berulang-ulang di tempat yang sama.


Surti menggigit bibir dan buru-buru menutup gorden jendela usai menangkap air muka Sulung yang secerah mentari pagi kontras dengan kegelapan yang melingkupi lelaki itu di kebun belakang sana. Hanya pendar cahaya rembulan sebagai penerangan satu-satunya, namun rupanya itu cukup untuk menjerat kekalutan ibunya dan berpikir bahwa anaknya memang melakukan sesuatu yang tidak beres.


Kali ini Sulung justru mengendap-endap menuju kebun belakang di waktu subuh menjelang ketika ibunya memutuskan untuk mengikuti dari belakang. Sepasang kaki Surti tak berjejak bagai melangkah di atas angin, matanya menyipit mengantisipasi sebuah benda yang tengah dibawa anaknya. Alangkah Surti bertambah heran dengan Sulung yang kini malah menyirami gundukan di atas kubangan yang telah dia gali. Bahkan tindak tanduk lelaki itu sudah seperti seorang petani ulung yang tengah sabar menyemai tanamannya.


Surti menahan diri di tengah naungan gelap yang membabi buta. Dalam gulita itu lagi-lagi kedua kakinya bergetar. Bibirnya dia bungkam rapat-rapat menggunakan tangan, sementara si Sulung yang berada di jangkauan netranya sedang mendongak ke langit, lalu bergumam seperti orang membumbungkan doa. Hancur lebur hati Surti karena sudah mengira anaknya itu gila.


Datangnya matahari mendesak kuasa kelam, mencairkan embun pagi yang duduk di singgasana. Tetapi, recokan di kepala Surti masih berdiam diri dan menyengat tubuh wanita tersebut dengan perasaan tak karuan. Surti bahkan tidak menyadari jika telur yang tengah dia goreng sudah menguarkan aroma gosong yang mengganggu indra penghidu anggota keluarga lain. Alhasil suaminya yang baru saja bangun marah-marah sebab sarapannya telah dirusak oleh kecerobohan Surti. Bahkan permintaan maaf dari Surti tak diterima karena dianggap terlalu menyinggung harga dirinya. Suaminya itu bilang kalau Surti tak ikhlas menggorengkan telur untuknya dan dia tak sudi makan pagi ini.


Namun, Sulung menerima telur gosong itu dengan sukacita, dan tetap memuji-muji ibunya memiliki banyak talenta istimewa karena sanggup melakukan banyak hal untuk keluarga. Memasak, bekerja, membersihkan rumah, menjadi seorang ibu, merangkap peran sebagai ayah pula. Bertambah terenyuhlah Surti atas pujian-pujian yang anaknya itu lambungkan. Dia merasa gagal. Ingatannya kembali melayang tentang Sulung dan kuburan misterius di belakang rumah.


Setelah memastikan Sulung berangkat sekolah, Surti tergopoh-gopoh menengok gundukan tanah yang menjadi beban pikirannya akhir-akhir ini. Tangannya berhasil menyingkap himpunan ketela pohon, kemudian menemukan sebuah kuburan dengan nisan kosong berdiri tegak di sana. Jantung Surti mencelos. Terdapat bunga-bunga segar tertebar rata di bawah kakinya.


Hari itu juga, Surti memutuskan membawa dirinya menemui wali kelas Sulung dan bertanya mengenai keganjilan sikap anaknya yang mungkin saja juga terendus di sekolah.


“Tidak ada, Bu. Tidak ada keanehan pada Sulung selama di sekolah. Dia tetap anak yang pintar, baik, dan saleh seperti biasanya. Hanya saja, kemarin saya pernah menjumpainya bertengkar dengan temannya di kelas.”


Surti langsung pucat pasi. Bibirnya tak bisa tahan untuk tidak bertanya, “Tapi … temannya itu masih hidup kan, Bu?”


Wali kelas Sulung sedikit melipat keningnya keheranan, lantas mengangguk pelan. “Masih kok, Bu. Mereka sudah akur sekarang. Ya, seperti biasa.”


Selepas menemui wali kelas Sulung, bukan kelegaan yang Surti temui. Tetapi kepalanya terasa nyaris pecah sebab pertanyaan lain jadi membuncahkan pikirannya. Bagaimanapun dia harus tahu sesuatu yang dipendam dalam kuburan tanpa identitas tersebut. Maka, Surti lekas pulang dan hendak menemui Sulung untuk bertanya.


Baru saja menginjak teritis rumah, suara keributan di dalam sudah membuka celah panik pada diri Surti. Berikutnya dia justru mendapati pecahan piring ambyar sekalian nasi luluh lantak di sekitaran kaki meja. Mata Surti sempat menangkap punggung suaminya pergi, tetapi perhatiannya lebih tersita pada Sulung yang cepat-cepat masuk kamar begitu melihat ibunya datang. Tak ada pilihan lagi selain mengejar Sulung dan menyambar lengan anaknya itu.


“Ada apa lagi ini, Sulung? Kenapa kamu malah lari tahu Ibu datang? Ibu rasa akhir-akhir ini sikapmu aneh. Tolong jelaskan juga mengenai kuburan di belakang rumah, Ibu tidak tahu siapa atau apa yang kamu kubur di sana!” Surti meledak-ledak akibat rasa ingin tahunya menggelegak, dan menyambar-nyambar.


Sulung terkesiap. Cengkeraman tangan ibunya lekas dia lepas dengan tubuh bergetar. “Kapan Bapak mati, Bu?”



***



Aku segera mengenyahkan air mata usai menunaikan salat. Ubin kamarku pun tak boleh mengetahui kalau aku menangis, konon pria sejati pantang mengeluarkan air mata walau kondisi teramat pelik menghimpit. Padahal pria juga manusia. Tetapi baru kusadari Ibu berdiri di pintu dan memandangku dengan tatapan yang tak kuketahui apa artinya. Bibir Ibu tertekuk. Kutanya ada apa. Tidak apa-apa, katanya sambil menggeleng lalu melenggang pergi. Tepat waktu beliau berbalik badan, aku sempat menyaksikan pangkal leher bagian belakang Ibu memerah bercap tangan, nyaris gosong seperti bintik matahari di fotosfer. Napasku memberat, Ibu memang terlalu banyak mengkhawatirkan banyak hal, tetapi tidak dengan dirinya sendiri.


Seperti malam ini ketika aku baru saja membuka buku hendak belajar untuk ujian besok, bunyi barang-barang yang dibanting mengusik telinga. Berikutnya suara menggerung seorang wanita menandakan kemelut rumah ini dimulai lagi. Mau tak mau aku membeliak gorden, dan menyaksikan Ibu sudah lisut seperti rumput di hadapan Bapak yang tengah mengumbar amarahnya.


Aku berharap apa yang sedang kutonton ini hanyalah adegan paranoiaku sendiri. Tetapi, sayangnya aku sudah hafal dengan apa yang terjadi berikutnya. Bahkan kejadian ini memang sudah berulang selama bertahun-tahun hingga aku tak ingat kapan pertama kali menangkap peristiwa tak normal dalam sebuah keluarga. Dulu, aku yang masih naif berpikir bahwa Bapak yang marah adalah sesuatu kekhilafan yang wajar. Namun, semakin dewasa, aku menyadari amarah Bapak merupakan suatu bahaya besar; ancaman, bencana, perilaku abnormal, penyakit, sekaligus kecacatan dalam keluarga. Aku tahu karena nyatanya Ibu dan aku sangat menderita. Tiap Bapak marah, pria itu lepas kendali seperti babi hutan mengamuk dan menyeruduk ke sana kemari tanpa welas asih.


Bapak yang sudah memasuki usia renta faktanya masih kuat membanting barang-barang rumah, masih kuat memukul Ibu sampai tak berdaya, masih kuat menekan tubuh ringkih Ibu, serta cukup nekat dan bernyali untuk punya niat mencacati Ibu, juga aku. Padahal tanpa keringat Ibu, Bapak bisa apa? Mencari sesuap nasi pun hanya khayalan belaka.


Entah dosa atau sudah termasuk tindakan kriminalitas, aku ingin Bapak mati saja agar tidak ada barang-barang yang terbanting dengan percuma, agar air mata Ibu tidak tumpah lagi, agar wanita yang kusayangi itu bisa mulai tertawa lepas seperti ketika kami hanya berbincang berdua, agar beban Ibu dapat berkurang, agar rumah ini lebih tenang tanpa ancaman amukan Bapak, dan supaya aku bisa fokus belajar untuk ujian seperti teman-temanku yang lain.


Mataku sempat melirik botol kaca kecap yang berdiri angkuh seakan menyaksikan keseruan penderitaan kami jika Bapak masih ada, sementara Ibu dengan sabar menerima berbagai tendangan, pukulan, juga jambakan Bapak. Aku menyambarnya, tak akan kubiarkan Ibu tersiksa seperti sebelum-sebelum ini. Masalahnya tanganku sudah telanjur kotor karena putas yang pernah kububuhkan di atas kopi panas Bapak, karena pisau yang suatu kali kutusukkan ke perut Bapak, atau karena keprukan kencang pada kepalanya sore itu. Namun, betapa Tuhan masih mencintai kami sebab sampai sekarang Bapak masih hidup dan dengan tangan besinya menyiksa kami.


Pecahan tajam kaca botol yang kugenggam berhasil mendarat tepat di tengkuk Bapak. Darah segar mengalir dari sana tak pelak memancing seringaianku. Bapak terkejut, tetapi berikutnya begitu berang. Dia kemudian beralih memukuliku hingga babak belur. Ibu sempat berteriak-teriak mencegah kelakuan bejat Bapak, tapi sepertinya dia kalap. Aku dihajar hingga badanku tak merasakan sakit lagi, hingga mataku menggelap, hingga napasku tertambat pada senyap, hingga luka yang memborok di hati ini akhirnya bisa bebas lepas dari sangkarnya.


Malam itu aku menggali tanah, menguburkan dalam-dalam semua harapanku yang menginginkan Bapak cepat mati. Meski sia-sia, aku masih berusaha menyemai, menyiram, dan melawat impianku satu-satunya yang telah membukit itu.


***


Bella Paring Gusti lahir serta bertumbuh di Bumi Bung Karno, Blitar, Jawa Timur. Gemar meramu novel, cerpen, dan esai. Dalam beberapa karya menggunakan nama pena: Glory Bella. temui Bella di Instagram @byemima

Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

This Is The Newest Post
Previous article Previous Post