Cerpen Dion Rahmat Prasetiawan
literasikalbar.com - Cerita yang mengingatkan seseorang tentang nama dan makna. Apalah arti sebuah nama dan apalah nama tanpa arti. Cerita yang mengalihkan pembaca mengenai keinginan tokoh terhadap sesuatu yang menarik hatinya. Namun, ada hal yang bertentangan dengan hal tersebut dan berkaitan dengan nama serta makna. Tokoh cerita menjadi berubah karena tindakan seorang tokoh yang menentang keinginannya.
Tur sekolah hari kemarin benar sangat menyenangkan. Sebagaimana Rama yang mengingat ia pulang nanti bakal minta belikan wayang golek. Entah bagaimana, ia sangat suka sewaktu melihat benda boneka bertangkai itu terpampang di rak-rak musium. Tentu saja, ada keinginan hendak ia curi dan nanti ia kongsikan pada teman-temannya. Tapi dia ragu. Takut jika ketahuan bakal kena hukuman masuk ke penjara anak-anak. Ia batalkan niatnya.
Saat hendak bergegas turun dan menuju bis, ia lihat ternyata ada tempat yang menjual wayang-wayang tersebut. Meskipun sangat jauh berbeda pada musium ruangan atas. Ia akan beli. Dirogohinya uang saku pemberian ayahnya padanya dalam saku celananya. Dan datang ke tempat pedangang sovenir. Uang ia tidak cukup. Dan ia datangi teman-temannya untuk meminjam. Tak ada yang memberi. Yang lain pelit, dan yang lain lagi kehabisan uang juga.
Itu sebabnya ia bakal minta pada orang tuanya untuk belikan wayang golek itu nanti.
Saat sampai di rumah. Ia nyatakan keinginannya itu pada ibunya. Ibunya yang baru saja pulang dari pengajian.
“Ibu, aku mau wayang golek yang dijual sewaktu tur ke museum kemarin.”
Ibunya hanya menggeleng, “Coba tanya ayahmu.”
Segera tanpa waktu lama ia datangi ayahnya.
“Ayah aku mau wayang golek yang dijual sewaktu tur ke museum kemarin.”
“Wayang?”
“Iya ayah, aku sangat terkesan dengan wayang. Sewaktu pemandu tur menjelaskan pada kami dia bilang, ‘Wayang tidak hanya benda patung semata, mereka punya cerita dan sejarahnya.’ Begitu ayah. Ibu guru bilang bahwa namaku ini ayah, Rama berasal dari kisah wayang juga.”
“Itu dibilang yang dikatakan Ibu gurumu?”
“Iya ayah.”
“Dasar anak bebal! Tidak boleh ada patung-patungan di rumah, haram! Namamu? Adalah pemberian almarhum kakekmu. Ayahku. Dia tidak hanya menjadi masalah ketika hidupnya, ternyata setelah kematiannya juga”
Rama yang tersentak oleh ucapan ayahnya segera pergi berlari ke dalam kamar. Menutup. Menguncinya dari dalam.
Dan bila telah datang waktu mengaji. Maka Rama hanya bersiap diri untuk berpasrah pada yang tiap-tiap hari terjadi: menangis!
Waktu mereka berhadap-hadapan di sebuah meja kecil dan mata terpicing-picing melihat Al-Quran di atas barang sebuah rotan kecil disiapkan baginya.
“Itu dibaca Kho!” bentak ayahnya.
Dan pada setiap salah yang berulang kali itulah datang layangan rotan dan jatuh pada paha atau bahu Rama. Ia memekik. Meraung. Tapi tetap mempertahankan diri. Tak berani beranjak. Dan matanya pun mulai menitiskan air dan menahan sedak. Ia terus membaca hingga berhenti dimana ayahnya ingin.
Paginya seakan tidur tadi malam adalah hibernasi untuk beramnesia. Berlupa diri pada keduanya. Rama datang lagi minta belikan wayang pada ayahnya.
Kembali Rama kena bentak.
***
Rama tak menyerah. Tak ia pinta lagi keinginannya pada sang ayah. Ia kumpulkan uang jajannya perhari. Dan jika tur tidak diadakan lagi, dia akan pergi sendiri dengan ongkos sendiri.
Kini telah terkumpul semua uang. Tepat pada hari Minggu. Rama pergi sendiri ke museum itu. Ini pertamakalinya! Dalam hatinya ia berpergian jauh sendirian dengan berulang kali naik turun bis dan opelet. Beruntung tak ada penjahat semacam pencopet dan preman mengincarnya. Dengan selamat pula ia sekarang berdiri di depan museum itu lagi.
Haru biru memenuhi diri Rama. Bersemangat segera kakinya melangkah menuju toko sovenir. Walau sempat kebingungan ia mau memilih yang mana. Akhirnya ia berhasil juga.
Sesampai di rumah. Waktu mengaji tiba, seperti biasa kalau ayahnya tidak memanggil dia datang sendiri ke kamar Rama.
“Buka Al-Quran.” Perintah ayahnya.
Dan pada saat itu juga seperti biasa Rama kena ayunan rotan. Tapi tidak kali ini ia menangis. Hati dan pikirannya dipenuhi oleh barang yang baru saja ia beli –bungkusan hitam besar di pojokan kamarnya kini. Dan itulah sekarang yang menjadi sorotan ayahnya.
Saat mata sang ayah tertuju pada benda hitam itu, Rama pun tergenyit hatinya. Ia ketakutan.
“Rama ambil benda itu dan bawa ke sini.”
Rama menggeleng-geleng menolak.
Akhirnya ayah pun berdiri mengambil sendiri benda itu, tapi Rama menahannya dengan menangkap memeluk kaki kanan sang ayah.
“Itu bukan apa-apa ayah…”
Ayahnya tidak menggubris.
Sesambil menyeret si anak, ayahnya pun mendapati benda terbungkus plastik hitam itu. Segera Rama melepas kaki ayahnya dan mencoba merebut benda yang dipegang ayahnya kini hingga dalam kantung tersebut berbunyi sebuah retakan.
Rama menangis. Sesaat ayahnya mengeluarkan benda yang ada di dalam bungkusan hitam. Wayang itu telah patah. Rama pergi berlari ke luar rumah sambil terisak-isak. Ibunya pun datang menghampirinya, ia menghalaunya saja. Dan hilang menutup pintu.
***
Rama sekarang tak lagi banyak bicara. Dia menjadi seorang penurut belaka. Mematuhi segala perintah orang tua tanpa melawan. Tapi pun tetap saja ganjil. Telihat dari dua bola matanya yang tampak hitam besar dari sekilas pandangannya hanya abu-abu.
Hingga setiap mengaji tanpa kesalahan. Bagi sang ayah sangat terheran.
“Besok bersiap-siap. Turut ayah pergi ke rumah mbah.”
Esoknya sesampai di sebuah rumah tua, mereka berdiri di ambang pintu rumah yang tertutup.
“Kau boleh jadi apa pun yang engkau mau, namun bersikaplah pada nilai kebaikan.”
Setelah berkata demikian, sang ayah mendorong daun pintu yang tampak reot itu secara perlahan hingga terbuka lebar. Tampak di dalamnya sebuah ruang panggung yang suram. Dipenuhi Peralatan gamelan yang terlapis penuh debu dan deretan wayang-wayang di sebuah dinding layar yang masih tampak utuh.
“Pemberian namamu merupakan dari mbahmu yang memberikannya, sesuai cerita wayang tentang Ramayana.”
Rama tercengang, jatuh kemudian tersedu. Dan menangis.
***
Dion Rahmat Prasetiawan lahir di Pekanbaru pada tanggal 28 Agustus 1997. Pegiat sastra di komunitas Suku Seni Riau. Beberapa karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak maupun media online.



Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon