Oleh : Riskyanova Khairunnisa
Literasikalbar.com  - Cerita tentang harapan dan perjuangan tokoh
cerita meraih citta-cita. Tokoh yang menghadapai berbagai rintangan yang
menjadi hambatan. Seperti apa rintangan tersebut? Apakah tokoh cerita bisa
melewati rintangan tersebut? Selanjutnya silakan membaca cerita di bawah ini.
Angin masa
lalu, bukan sekadar hembusan melainkan bisikan tajam yang mengiris, kerap
menyelinap lewat celah jendela ingatan. Ia membawa serta aroma seragam SMA yang
dulu lebih mirip jubah pemberontakan. Di koridor sekolah namaku melekat dengan
cap ‘anak urakan’, bayangan buram yang meniadakan masa depan, menjebakku dalam
bingkai yang tak menyisakan ruang untuk harapan. Namun, setiap langkah pulang ada
pintu lain yang terbuka, sebuah ruang senyap yang justru memancarkan cahaya. Di
balik dinding rumah, aku adalah anak Ibu yang tak pernah melewatkan waktu shalat,
dan diam-diam di antara lipatan sajadah menaruh harap dalam heningnya malam.
Dua dunia itu bak siang dan malam yang tak pernah bersua, bagaikan kepingan
mozaik. Identitasku yang rumit saling tarik-ulur namun tak pernah putus.
Ketika ijazah
SMA tergenggam di tanganku, hidupku membentang di persimpangan jalan memberikan
dua pilihan. kuliah atau kerja? Ibu hanya menatap dengan sorot matanya yang menyimpan
samudra doa yang tak terucap, lalu berbisik lirih kepadaku, “Cobalah shalat
istikharah, Nak.” Kalimat itu bukan sekedar nasihat tetapi juga jangkar di
tengah badai keraguan. Malam itu, dalam sujud yang terasa begitu panjang,
kuserahkan seluruh benang hidupku pada langit, berharap secercah petunjuk
menembus kabut hati. Jawaban itu tak datang dalam kilatan cahaya, melainkan
tumbuh perlahan mengakar kuat dalam niat yang membimbing langkahku. Kupilih
salah satu tempat di ujung timur yang menanamkan Al-Qur’an dan kitab kuning di
hati-hati yang kosong. Tempat sunyi itu menjelma menjadi ladang hikmah, di mana
aku mulai menata reruntuhan masa lalu dan mencoba membangun pondasi masa depan
dari puing-puing yang tersisa.
Setahun
berlalu, aku naik ke tingkat dua. Namun, benang semangatku mulai terbelit
antara ambisi duniawi dan panggilan jiwa yang mendalam. Keinginan untuk
melampaui diri mendorongku mengambil Pendidikan Ekonomi di salah satu
Universitas, sebuah lompatan ke dalam jurang ketidakpastian. Namun, bagaikan
siang dan malam yang tak pernah bersatu. Jadwal kuliah dan Ma’had terus
bertabrakan, menciptakan celah-celah kosong dalam kehadiranku. Absenku
menumpuk, dan kabar itu akhirnya sampai ke telinga guru. Kekecewaan tak
terucap, hanya terpancar dari sorot matanya yang teduh, seolah menanyakan
‘mengapa?’. Suatu hari, beliau datang ke kosku. Tak ada teguran keras, hanya harapan
yang pernah kutitipkan yang terlihat. Dengan lirih beliau menyuruhku untuk
masuk lagi. Setelah semester pertama aku menyerah. Kuserahkan segala ambisiku pada
Ma’had, berharap bisa kembali fokus pada jalur yang kupilih.
Tetapi hidup
bagaikan candaan, seperti biasa tak menyukai jalan yang mulus selalu ada lika-liku
tak terduga. Beberapa bulan kemudian, aku naik ke tingkat tiga. Lagi-lagi
bisikan untuk kuliah muncul, kali ini di tempat yang berbeda yaitu salah satu
institut swasta yang gedugnya berbalut warna hijau telur asin yang berada di
seberang jalan raya. Di sanalah ujian sesungguhnya menantiku, badai yang tak
hanya mengguncang tetapi juga merobohkan pondasi hidupku yang tidak
kusangka-sangka.
Namun, ujian
terbesar itu bukan hanya soal akademik atau pilihan hidup, melainkan kenyataan
pahit yang menanti di rumahku. Tempat yang dulu menjadi pelabuhan hangat bagiku
kini berubah menjadi ladang luka yang dalam. Pulang ke rumah, ku dapati sepi
yang tak biasa. Bukan lagi kehangatan yang menyambut, melainkan udara dingin
yang menusuk. Meja makan yang biasanya riuh kini sunyi, kursi-kursi berjarak
seolah ikut menjauh. Perceraian orang tuaku tak diumumkan dengan lantang,
melainkan terukir dalam retakan dinding hati, di setiap sudut rumah yang dulu
teduh kini hancur. Di tengah reruntuhan itu, aku berdiri sebagai anak sulung,
menatap adik kecilku, matanya memantulkan ribuan pertanyaan yang tak terucap,
seolah mencari jawaban di wajahku. Langit seolah runtuh menimpaku, pikiranku
buntu diselimuti kabut tebal keputusasaan. Kuliah dan Ma’had kutinggalkan, tak
ada lagi semangat yang tertinggal, hanya kekosongan yang menganga. Malam-malam
kulewati, dalam diam menatap dinding kamar yang bisu seolah ia bisa memberi
jawaban dari riuhnya isi otakku. Bahkan sempat terpikir untuk pergi jauh
meninggalkan segalanya, termasuk bayangan masa depanku.
Dalam
kegelapan itu, satu-satunya pelabuhan yang tersisa adalah hubunganku selama
tiga tahun dengan sesorang. Kami telah melewati banyak hal bersama, bahkan
orang tua kami pun telah saling menerima. Segala kebutuhannya kucoba penuhi,
setiap keinginannya kuturuti, dan aku selalu berusaha hadir di sisinya. Namun,
ketika ia mulai sering pergi mendaki gunung bersama teman-teman lelakinya hubungan
kami mulai terombang-ambing. Ombak asmara kami pun berubah menjadi badai,
putus-nyambung tanpa kepastian. Malam itu, saat kabar perpisahan orang tuaku
datang menghantam, aku mencurahkan segala luka dan harap pada dirinya untuk mencari
seikat penghiburan dalam dekapan kata-katanya. Namun malam yang sama, ia
memilih untuk pergi, memutuskan hubungan kami tanpa kata. Hatiku yang sudah
remuk kini hancur berkeping-keping, terhempas oleh gelombang kesepian yang tak
bertepi. 
Meski hatiku
remuk dan sepi menyelimuti, malam-malam yang sunyi itu perlahan membuka ruang
bagi bisikan lembut yang mulai menembus kekosongan jiwa, membawa secuil harapan
yang tak pernah kuduga akan kembali hadir. Dalam tidur, aku bermimpi bertemu
seseorang yang memakai kain putih bersih dengan tongkat di tangannya berdiri di
atas gunung, pemandangan yang terasa begitu nyata. Beliau berpesan lembut bak suaranya
seperti embun pagi, “Lanjutkan Ma’had-mu,” amanah yang menggetarkan seluruh jiwaku.
Aku terbangun merenungi pesan itu. Entah darimana dan bagaimana, dari
serpihan-serpihan yang tersisa kudapati kekuatan untuk kembali melangkah.
Pesan itu
menjadi lentera kecil di tengah gelapnya hatiku, menuntunku untuk bangkit meski
hati masih rapuh, dan perlahan aku mulai menata kembali langkahku menuju masa
depan yang penuh ketidakpastian. Aku kembali ke kampus memendam kesedihan dalam
diam, seperti menyimpan permata rapuh yang tak ingin di sentuh. Bibirku jarang
bicara namun mataku menyimpan ribuan cerita yang tak terucap. Kesedihan itu
kusimpan, menjadikannya penguat langkah. Pelan-pelan kuselesaikan Ma’had empat
tahun lamanya. Setelah selesai, keberanian untuk melanjutkan kuliah kembali
tumbuh, meski jalanan terjal dan penuh bebatuan rintangan.
Perjalanan itu
tak selalu mulus, keterbatasan materi menjadi bayangan yang terus menghantui
setiap langkahku, menguji sejauh mana tekad dan semangatku mampu bertahan.
Tugas menumpuk dan skripsiku menanti di ujung tanduk. Seringkali, aku harus
menumpang di warnet hingga larut, atau meminjam jari-jemari teman yang murah
hati. Di tengah segala kesibukan dan perjuangan itu, tak kusangka hati ini
mulai terbuka kembali untuk sebuah perasaan baru yang datang tanpa diduga,
membawa warna dan sekaligus ujian tersendiri dalam hidupku.
Di tengah
pergumulan dengan skripsi, cinta datang seperti hujan sore, diam-diam, tanpa
aba-aba, tanpa janji. Aku jatuh hati pada seorang wanita, namun cinta itu
memilih jalan lain tak seiring dengan harapanku. Hatiku patah, bukan sekadar
retak lagi melainkan hancur. Pikiranku kacau, skripsi terbengkalai seolah
semuanya sia-sia. Tapi dari luka itu, aku belajar bahwa mencintai seseorang
sepenuh hati adalah perkara berat bila tak bersambut, sakitnya menembus tulang
meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, bahkan oleh waktu. Meski hati masih
terluka dan sempat terpuruk, aku tahu perjuangan harus dilanjutkan. Dengan
segala keterbatasan yang ada, aku bertekad menyelesaikan skripsiku sebagai
bukti bahwa luka bukanlah akhir dari segalanya.
Dengan hati
yang masih perih, kutulis skripsi itu hingga rampung. Di akhir cerita, ada
orang tua dan sahabat-sahabatku yang setia seperti mercusuar yang tak pernah
padam, mendorongku hingga tiba di hari itu. Hari di mana toga kukenakan, dan
mimpi lama akhirnya terwujud, bukan sekadar impian melainkan kenyataan yang
bisa kuraba. Di bawah langit yang dulu kutitipkan harapan aku berdiri siap
menulis bab baru kehidupanku. Langit di atas sajadah, tempat semua harapan dan
doa terukir, kini menjadi saksi perjalanan panjangku menuju masa depan yang
lebih bermakna.


Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon