Selasa, 27 Agustus 2019

Cerpen | Penyair Gurem dengan Kolor di Kepalanya

author photo
Cerpen Ferry Fansuri

Penyair Gurem dengan Kolor di Kepalanya


literasi kalbar
Penyair Gurem dengan Kolor di Kepala. Sumber Pixabay

Masih ada rasa menggelitik di tengkuk ini, bulu kuduk terus meremang tak mau hilang. Bayangan ngeri masih menjadi kabut di kornea mata ini, aku menghilangkan dengan memandangi biru laut di atas dek kapal penyebrangan. Akhirnya aku meninggalkan kota tapal kuda menjauh dari Ketapang menuju Gilimanuk demi menginjak pulau para dewata disana. Peristiwa serta kejadian ganjil dan menyesakkan itu kuhempaskan tak ingin mengingatkannya kembali.

Aku menyaru menjadi bocah penjaja asongan bisa menyelinap dalam kapal dengan gratis. Keramaian penumpang dan kendaraan memasuki kapal, petugas tidak akan menghiraukan diriku. Dalam hembusan angin laut yang menyeruak ke wajah ini yang kepet jarang mandi membuat segar. Perjalanan masih panjang menyusuri selat Bali, hal yang kupikirkan hanya setelah turun ke Gilimanuk. Sesuatu yang muskhil jika jalan kaki menuju Kuta, magnet wisata turis itu. Ah..entahlah pasti ada cara dan jalannya sendiri, sekarang biarkan aku rebahkan tubuh ini untuk terlelap dibungkus deru gelombang asin.


Baca Juga: Memetik Ragam Nilai Moral dalam Kehidupan

Tak lama kemudian kapal Ferry bersandar di tepian Gilimanuk memuntahkan seluruh isinya, tumpah ruah keluar bak semut berbaris untuk menemukan gula. Aku ikut menyemut diantara mereka, berbaur dan hilang dari pandangan mata. Bergulat untuk keluar dan bebas pemeriksaan petugas, aku berhasil lepas dan berada di pintu keluar. Diriku masih celingak-celinguk mungkin truk atau tumpangan yang baik hati, tangan kiri dengan jempol ok  ditepi jalan tak berhasil membuat kendaraan yang berseliweran untuk mengangkutku. Bahkan aku harus rela mengibarkan kaos oblong kucel untuk dilambai-lambaikan sambil bertelanjang dada yang tinggal kulit berbalut tulang belulang.

Satu jam, dua jam sampai malam sudah mengerubuti diriku dan akhirnya terpojok duduk di trotoar jalan tanpa satupun tumpangan bisa kugaet. Hampir mata ini mengatup dan ingin bersembunyi dalam kantukku, tiba-tiba sorot lampu mobil berhenti tepat didepanku.

”Masuklah nak !”

”Kau ingin arah mana? ”

Aku hanya terpaku melihat seorang pria mungkin separuh baya, rambut sudah memutih dengan kacamata bulat ala John Lenon dalam sebuah mobil jenis colt bak terbuka. Aku tak menjawab hanya menuju ke arah timur.

”Aku searah ke Denpasar, naiklah”

Beruntung diriku mendapatkan tumpangan gratis sekali lagi, bapak satu ini begitu baik dan langka dijaman sekarang individual makin menjadi. Dalam perjalanan akhirnya kukenal pria paruh baya ini mengenalkan nama sebagai Mang Miun, dia sedang melakukan perjalanan dari kota yang dikenal Paris Van Java ke negeri mahabrata. Mang Muin suka berbicara cenderung blak-blakan tanpa tendeng aling-aling, sambil menyetir ia bercerita tentang perihal anak perempuannya yang minggat dari rumah.


Marfuah pergi membawa bungkusan kain berisikan pakaian setelah kenal bujuk rayu makelar tenaga kerja. Marfuah dijejali cerita asyik mashyuk indahnya pulau ujung timur pantai selatan, betapa eksotik bagai surga dunia yang dirindukan. Keputusan tanpa pamit membuat Mang Miun lunglai tak berdaya, istrinya seharian menangis hingga jatuh sakit.

”Pergi kau, jangan pulang sebelum kau dapat dia.”

Istrinya melempar daun pintu dengan keras dan tidak membukanya selamanya, maka Mang Miun menyalakan mobil tua dan melepaskan sarungnya. Bergegas dan menghajar pedal, menyusuri aspal dengan mata awas pedih berlinang airmata bukan sedih tapi kemasukan debu jalanan. Hal yang diingat suara istri dan wajah Marfuah entah dimana dia sekarang, mobil bututnya dupacu sekuat tenaga.

Saat Mang Miun melihat aku di pinggir jalan, ia teringat Marfuah yang juga seumur diriku. Mang Miun mengatakan Marfuah hanya jebolan sekolah dasar, sedikit terbelakang dan dimanja ibunya. Ekonomi pas-pasan membuat Marfuah pergi mencari peruntungannya sendiri, Mang Miun menyesali dirinya sendiri yang tak mampu menghidupi keluarga lebih layak. Ia hanya sopir angkut pasar, dikit demi dikit menyicil colt L300 biarpun itu belum lunas.

Aku hanya jadi pendengar baik dari semua yang dimuntahkan dari mulut Mang Miun. Pria ini memang baik tapi hanya takdir tidak memihaknya bahkan sesampainya di pusat kota, ia mentraktir nasi jinggo didepan pasar Kumbasari. Hati ini riang gembira karena dari pagi tadi belum diisi dan dipastikan usus-usus pada lengket semua. Kulahap bulir-bulir nasi bercampur suwir-suwir ayam, serundeng dan sambal goreng. Terasa nikmat dalam pengecapan, nasi jinggo mirip nasi kucing yang kumakan di Malioboro. Kata-kata  jinggo dari bahasa hokkien artinya seribu lima ratus, menurutku ini spesial sampai habis 3 bungkus tandas masuk dalam perut. Mang Miun hanya mengelus dadanya melihat diriku begitu lahap seperti baru makan 3 hari 3 malam.
Menjelang ufuk menyingsing ke timur dan mengeruap perlahan, Mang Muin menyandarkan colt reyot di pinggiran Kuta yang merupakan tujuan akhirku. Aku pun melambaikan kepada orang tua itu semoga menemukan anak perempuan yang minggat tak mau pulang. Di lain kisah setelah ini Mang Miun ibarat mencari jarum dalam tumpukan  jerami, ia akhirnya menyerah dan kembali ke kampungnya. Tapi saat ditemui istrinya, seluruh pakaian dalam lemari raib dan meninggalkan kolor warna merah jambon milik istrinya.

Seperti orang linglung Mang Miun duduk lunglai di kursi ruang tamunya dengan memakai kolor merah jambon itu di kepalanya. Tidak hanya satu hari, berminggu bahkan sampai satu tahun, orang-orang kampung mengira gila karena tiap pagi melongo kosong. Jika malam hari tertawa terbahak-bahak, terkadang bertelanjang dada dan masih tertancap kolor merah jambon itu dikepalanya. Naik genteng sambil mulut keluar sajak-sajak entah dimana ia dapatkan, sekejap menjadi penyair dadakan bersenandung menyayat hati.

Para tetangga cuman bisik-bisik ”Kasihan Mang Miun ditinggal istri dan anak, akhirnya hilang ingatan dan gila sekarang.”

Pekanbaru, Agustus 2017


literasi kalbar

Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Ilmu Budaya jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Karya tunggalnya kumpulan cerpen "Aku Melahirkan Suamiku" Leutikaprio(2017) dan kumpulan puisi "Bibir yang Terikat" AE Publishing(2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. 

Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post