Sabtu, 05 Juni 2021

Sajak-Sajak Ratih Wahyuningsih dari Senja di Bukit Cinta

author photo

Literasikalbar.com - Ratih Wahyuningsih menaburkan citraan pada sajak yang indah. Pembaca seolah melihat, mendengar, dan merasakan peristiwa tiap larik yang disajikan. Selain citraan, sajak terasa kuat dalam mendedahkan emosi.


Puisi Ratih Wahyuningsih dari Senja di Bukit Cinta pic pixabay


Sajak Ratih Wahyuningsih dari Senja di Bukit Cinta


"Duhai kekasih hati,  berjanjilah untuk kembali. Taklukan badai gelombang ganas menerjang"


Petaka Asmara


Semburat fajar memerah darah

Hari masih sangat pagi

Embun menitik bening di ujung daun

Bunga  kecil menggigil menahan hawa dingin

Hujan tlah lama reda 

Meski derai gerimis masih tampak

Dingin menelusuk jauh menembus kulit

Isak Bunga kecil kian membukit


Sungguh malang nasib  Si Bunga 

Terpekur sendiri tiada orang tua

Gadis sekecil bunga, dirundung lara

Cinta ayah tak ada 

Dekap manja bunda pun tiada


Dimanakah ayah bunda berada?


Kala rembulan merah baru saja datang,  

Faizah  berlari kencang menghilang 

Badrun mengejar, nanar menghunus  kelewang panjang

Sumpah serapah membabi buta  gelapkan mata

Sosok jasad perjaka muda  melintang mandikan darah


Bunga berlari menjerit melolong di gelap malam

Tubuh kecilnya terperosok ke dalam lubang

Seribu kelip bintang meremang lalu gelap menghilang

Bunga kaku sendiri diguyur derasnya hujan  


Bunga kecil bangkit terhuyung mengiba mengeja nama

“Maaaaaaaaak, Bapaaak, kalian dimana?

“Pak Lee Karsa tolong Bunga!


Bunga terisak di balik  rimbun semak

 

Gubuk kecil beratap rumbia tinggal cerita 

Amuk badai amarah hancurkan semua

Asmara lara tuai  petaka 

Bekasi : 24.01.20


***


Senja di Bukit Cinta


Matahari sore belumlah  karam

Cahayanya  masih  terik sampai di tebing curam

Jelajahi ngarai hingga kaki bukit terjal


Matahari kian memerah menyudahi senja

Pendar cakrawala bersaput bilur keemasan

Langit memutih abu perlahan menuju malam

Berarak  serupa gerombolan domba

Riuh beriring  hendak pulang kandang


Gadis manis bermata sendu  beringsut mencengkram kain

Menapak jalan setapak di lereng bukit

Menggendong bakul menjinjing ceret

Kebaya lusuh membungkus kulit

Selendang panjang penutup rambut

Kaki putih mulus  penuh berlumpur 

Telanjang kaki di antara hijau rimbun padi 


Sang pemuda gagah  menggiring memanggul cangkul

Kaos oblong kusam membalut tubuh

Pangsi hitam setengah lutut

Wajah lelah  berkeringat kening berkerut

Topi caping lebar menutup


Lasmita si gadis Dusun Parung

Paras jelita berhidung mancung

Disunting Paijo perjaka rupawan

Dewa dewi dusun bersanding 

Aduhan sungguh menawan


Demikianlah  cinta terangkai begitu indah

Mengurai kisah dalam pekat lumpur sawah

Jauh dari gemerlap kilap lampu kota

Abadilah cinta indah  sepanjang masa.


Matahari tinggal sepenggal

Alam sunyi menyambut maghrib tiba

Pelangi jingga nampak bertengger di gubuk beratap rumbia

Lasmita Paijo duduk manis  berdua 

Melepas lelah rangkai cerita

Bekasi: 30.01.2020


Baca Juga : Sintang Dua Puluh Empat Jam


***


Menunggu Rindu


Sekian kali kau torehkan isyarat cinta untukku

Sebelum langkah pergi menjauh

Di hamparan pasir putih luas membasah 

Bawah remang bulan dalam riak ombak tenang tiada gairah

Sementara gemintang diam tak berkerlip 


Kurekatkan janjimu pada bilah helai nyiur, 

Janji mengalir deras selaras lebat hujan berjatuhan

Rekam jejak kisah dalam kilatan cahaya petir 

Serta deru gemuruh gelegar guntur


Setiaku diperaduan, menanti dalam panjangnya malam

Bertaut dalam seribu kemelut hidup

Pergilah berlayar hingga himpunan harta amis kau dapat

Mengukir simpul senyum manis dibibir 


Duhai kekasih hati,  berjanjilah untuk kembali

Taklukan badai gelombang ganas menerjang

Cadik kecilmu rimbun dengan doa dan harapan

Satu purnama segeralah pulang 


Dalam remang bulan di pelataran

Kutunggu datangmu, kudekap rindu

Bekasi: 30.09.2020

 

***


Senja di Riam Lae Pendaroh


Sejuk sungguh buai angin menyentuh 

Telanjangi jiwa lemah  merapuh

Mentari redup jagat raya lesu tertunduk 

Senja sesaat kan pergi, riam Lae Pendaroh menuai sepi

Derai gerimis mengurai kabut ,  kelam menebal hingga pucuk perdu


Gadis manis sendiri menopang sepi

Diantara percik gemuruh tirta maya


Datanglah kekasihku, datanglah...!

Dengan rindu kupanggil namamu

 

Alam sejenak senyap, angin pun pergi

Wangi seribu bunga merebak, satwa senyap

“Pujaaaaaaa!

Suara lirih berat mendesah

Selaras sepoi desah angin senja 

Alam hening sepi


“Mendekatlah Bang! Aku rindu.”

“Sejak kau pergi, aku menyulam kesepian panjang tiada ujung

“Hariku seakan dibebani kiloan besi berkarat, kakiku terikat kuat  

“Aku tak sanggup, berjuang mempertahankan hidup

“Bawa aku ke alammu, Bang! 

“Aku  gila tiap detik dicabik rindu


Desau  angin senja membisikan seribu rayu 

Angan lepas landas membungbung ke  langit luas

Mengurai asmara loka dalam pendar senja

Tampar selaksa asa, hasrat memuncak terkulai layu

Kidung semesta sumbang tak berirama


”Pujaaaaa, pergilah........! sebentar gelap menyapa

“Jangan biarkan raksasa malam ganas memangsa, 

“Lalu menyeretmu ke meja perjamuan 

“Cukuplah aku disini berkawan angin 

“sejak lekuk  terjal jurang remukan ragaku

“Aku merana ...Puja.” Pergilah kasihku!


Remang senja hilang warna

Rembulan merah jambu manis disinggasana

Mayapada larut dalam bingkai sunyi

Si gadis manis tengadah, memaku diri


Dingin menelusuk 

Riam Lae Pendaroh dibuai sejuk

Bekasi: 27. 05.2020


Baca Juga : Puisi Memeluk Rindu


***


Balada Pemuda Jarot


Siang terik memanggang kepala, debu kota menebar merambah meraja

Peluh mengucur deras membasah raga, kerongkongan kering rindukan  tirta


Jarot bercelana jeans kusut, menyeruak di antara rimbun kabut

Mata tajam liar mencari sasaran, siapa lengah jadilah mangsa


Jarot preman  Pasar Simpang lima, tubuhnya kekar tampangnya sangar 

Badik di kiri belati di pinggang kanan, sempoyongan mabuk minuman

Menakutkan


Nun  jauh di ujung gang sempit, perempuan tua renta  berharap cemas 

Merayap menelusuri dinding gubug reyot , merapatkan telinga mencari suara


Duhai anakku semata wayang

Kemanakah  seharian engkau menghilang

Nasib buruk Mak cemaskan


“Maaaaak! 

Bruuug, di atas papan bambu tak beralas Jarot menjatuhan diri

Sontak memapah lengan lemah

“Sudah kubilang diamlah kala ku tiada, Mak!

Lembut Jarot mengelus wajah keriput, binar  tajam matanya kian melembut


“Makanlah,  “Mak cepat!

Kudapat rempeyek dan ketupat

Laki-laki berwajah garang merunduk merendah 

Hilang gagah serta sikap pongah

Kilau  belati,  tajamnya badik hilanglah sudah


Jarot preman Pasar Simpang Lima, merunduk sujud menghiba

Pelangi melingkar memagar senja, menabur seribu warna

Bumi memuji langit pun terpana

Bekasi: 20.10.2020

***


Ratih Wahyuningsih, S.Pd.MM.  Putri dari pasangan Hadi Rahmat Dharsono dan Sumirat. Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat  pada 7 Juni 1971. Saat ini beralamat di  Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Tercatat menjadi ASN sejak tahun 2007, bekerja sebagai seorang guru,  mengajar di SMPN 1 Setu Kabupaten Bekasi  untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan terakhir S2. Tergabung menjadi anggota dari  KPPBR ( Komunitas Pendidik Penulis Bekasi Raya). Karya yang dihasilkan baru berupa karya bersama untuk puisi dan cerpen. Fb: Puja Senja & IG : ratihningsih10


Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi, & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com


Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan




Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post