Minggu, 27 Februari 2022

Sajak Joni Hendri dan Meninggalkan Pelabuhan Agama

author photo

literasikalbar.com – Sajak Joni Hendri memaparkan kehidupan yang dirasakan manusia saat ini. Dari berbagai sisi dan ranah penulis sehingga puisi yang disajikan tidak monoton.


Sajak Joni Hendri dan Meninggalkan Pelabuhan Agama
 Sajak Joni Hendri dan Meninggalkan Pelabuhan Agama Pic pixabay

Sajak Joni Hendri dan Meninggalkan Pelabuhan Agama


“Aku terlalu lalai Tuhan.”


Perebutan Mimbar


“Apakah Penceramah?

Apakah pemangsa?”


Aroma mimbar tidak menjadi aroma iman

seperti memangsa agama

padahal maut pelan-pelan mengintip 

siapa yang paling benar?


Masa lalu kitab

dan anak-anak lahir tanpa petunjuk

hanya simbol perseteruan diazankan

tak menyadari mata langit terus melihat

semacam rekaman yang tak padam.


Yang merebut adalah mereka-mereka berjubah

terlempar segala kesombongan

dari lubang atap yang sama

segalanya sujud.


“Siapa yang paling luka?

Apakah penceramah?

Atau pemangsa?”


Pekanbaru, 2021


***


Camera Kehidupan


Memotret di celah luka-luka

estetika dosa dari tubuh yang indah

melihat dengan mata

dari tangkapan buruk yang menjangkit

seumpama wajah yang sakit.


Ada satu perangkat terbuat dari kertas

objek melintas di tikungan yang berlipat-lipat

aku memburu dengan kaki yang cepat 

membawa jiwa dalam kegelapan.


Maka camera tak terbatas

menginginkan sesuatu yang muncul

memukau pada kematian eksis

sebelum fitur aplikasi tertinggal dari catatan?


Pekanbaru, 2021


***


Listrik Para Wali


Kabel menyerupai urat-urat tauhid

sepasang darah sedang berjalan dan berzikir

mengenang di setiap sudut sel-sel tubuh

disentrum ayat-ayat iman.


Musim mendinginkan,

bulu-bulu menahan sisi lahiriah

kemah-kemah sepi dari zikir

mulut tak basah untuk meminta surga

segera tertidur, seusai tercerca di dunia fisik.


Kemana hati?

Listrik wali-wali sangat bersahabat 

menyuarakan: “Husnuzhan pada-Nya”

memuliakan lorong taqwa ke setiap masa

di titik penuh cinta.


Rumah Agama bercahaya?

Setelah identitas memiliki jalan panjang

jeritan api memangil-manggil

hingga magrib dan subuh.


Pekanbaru, 2021


***


Meninggalkan Pelabuhan Agama


Jauh hanyut,

meninggalkan pelabuhan, kita saling melihat pada agama

tak mengawasi dari pucat pasi iman.

Tapi jangan masukan kata dosa di sana

sebelum jemari menggigil.


Huruf-haruf mengalir, tanpa gelombang suara

tanpa sampan dan pengayuh untuk membaca

di gebang Masjid, diam-diam mencuri langkah untuk pulang

melewati gelap menjauhi suara-suara azan magrib

pada jam-jam mati.


Kenangan leluhur di dinding dan jalan surga

menggambarkan peristiwa di mata, saat luapan elektronik

membentuk air pasang

bahkan menjadi tenggelam pada sejarah.


Ayat-ayat basah oleh air, yang datang dari sinyal 

terkikis hati untuk membacanya 

sebab, Laptop sudah menggenggam kuasa pada mata

menghanyutkan kita di tanjung sunyi untuk bersemedi. 


Jauh hanyut, dari pelabuhan agama

gagal berlabuh, sebab taqwa mati

dan waktu berhenti dalam sekian ribu


Pekanbaru, 2021


***


Makam Mengapung di Laut


:Syekh Abdullah Mudzakir

Seribu sembilan ratus lima puluh

Demak mencatat sejarah di tepi laut

selama delapan puluh satu tahun menanam ribuan cinta

tentang makna Agama untuk menumpas segala derita.


Sebuah makam yang timbul

pada pasang siang, saat laut bergelombang 

menghantam sunyi pesisir yang tenggelam di luasnya

mengapungkan keluarga bersama kain kafan

serpihan-serpihan tanah pantai yang setia di dinding kusam

para penziarah melihat petani tambak pada catatan usang

yang lahir di Dusun Tambaksari 

tak ada lagi tanah setelah dihapus banjir.


Di pantai Sayung,

doadoa bersuara tak habis-habis dikikis

bunyi gesekan air laut mengiringi kaki yang melangkah

melewati jalan panjang  sebelum pantai

barangkali bayang surganya.


Ilmu abadi mengalir,

memeluk peradaban dalam riwayat

senyum kekal tak henti dari wajah cicit

memayungi lipatan-lipatan karomah

sebelum semesta berakhir.


Pekanbaru, 2021


***


Hutan


Sumpah-serapah merawat kondisi

nyawa pergi menemui puisi terakhir

menjadi hutan yang tumbuh ribuan tahu

bertabrakan di bawah langit setelah hujan

kesalehan di ujung pulau Sumatra

mengunci kemurkaan alam

menunggangi kereta bersimbol: “Ateisme”

Fatamorgana bermain darah yang keluar dari leher.


Hutan-hutan gundul,

limpahan cahaya bersenang hati

terik matahari kenyang, memakan hingga kering

gunung bakal hilang dari letusan

jari-jari keparat itu besenang-senang

sebelum obat-obat menghujaninya.


“Siapa pemotong?” Tanyaku.

Sepi!


Pekanbaru, 2021


***


Waktu


Air menitik berbau pandan

harumnya tersisa sampai malam Ahad

tak berhenti mengikat hidung

segala tercium 

sebelum dibawa ke tepi pohon

dan kuburan.


Tangan akan kaku seperti pintu

lalu melahirkan kata-kata jujur

bekas perbutan mulut, hati beserta kaki.


Waktu sudah tuntas di dunia!


Pekanbaru, 2021


***


Peristiwa Pandemi


          “Masa depan,

          apakah itu pendidikan?”

Setelah menyodorkan pertanyaan

matahari dalam kepala hilang bentuk

langit menghitamkan dalam mata

sebuah siang, bangku-bangku Sekolah patah

hanya sisa-sisa dongeng usang memotret

dan menjadi harapan.


Mari susuri tanjakan waktu

di antara bukit-bukit virus

ke arah pohon yang berbuah misteri

peristiwa-peristiwa pandemi tumbuh di bawahnya.


Gunung-gunung kedinginan

tempat para dokter mencari obat penawar

tanah hanya tempat galian mayat

lalu mengatur sesuatu yang tidak masuk akal

sambil merelakan dan menertawakan maut

sebagai sorotan sejarah manusia.

“Di mana masa depan pendidikan?”


Pekanbaru, 2021


***


Memori Kehidupan


Kehilangan bentuk dalam telaga api

ujung rambut sampai kaki terbakar

bulu-bulu yang lain jadi abu

airmata jadi nanah membanjiri tubuh

tenggelam dalam sungai kekesalan.


Di jembatan ia berbunyi:

“Aku terlalu lalai Tuhan.”


Yang mendekat,

menghukum segala perbuatan

pisau senantiasa tajam mengiris diri sendiri

sebagai tanda akhir dari kehidupan.


Tumbuhkan memori,

kita telah lupa pada jebakan

tamak perbuatan menyimpan kekeringan

gema kecamuk dalam bulatan kepala.


Pekanbaru, 2021


Joni Hendri


Joni Hendri, Amd. Sn., S.S kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Dan juga alumni UNILAK Jurusan Sastra Indonesia. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media seperti: Kompas id, Riau pos, Solo Pos, Medan Pos, Radar Bayuwangi, NusaBali, Tanjung Pinang Pos, Pontianak Pos, Sulawesi Tengah, Bali Pos, Singgalang, Bhirawa dan media online lainya. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.


Berkaitan dengan isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis. Literasi Kalbar sebagai wadah kreativitas berliterasi baca tulis.

Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi, & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com

Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan



Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post