Karya Nanda Sukma Ayuni
Butiran air jatuh perlahan membasahi bumi. Bintik-bintik embun mulai menyelimuti kaca jendela kamarku. Aku masih duduk terpaku, menatap hujan turun dengan tatapan kosong. Tidak, sebenarnya aku tidak menatapnya, tetapi hanya merasakannya.
Hampa. Itulah perasaan yang setia menghampiri hatiku sejak 1 tahun yang lalu. Entah sejak kapan duduk disamping kaca jendela menjadi hobiku. Entah sejak kapan pula menatap hujan turun menjadi hal yang paling aku sukai. Aku masih terus berharap ia akan kembali padaku, walau kutau itu mustahil.
Tubuhku rasanya sungguh tak berdaya untuk beranjak dari sini. Rapuh. Rasanya kini sebagian dari diriku telah hilang. Hatiku sudah mati. Bahkan lidah rasanya tak mampu lagi untuk berucap. Seperti orang mati. Hanya tetesan air mata yang masih menunjukkan bahwa ragaku masih bernyawa.
"Raka.."
Lagi-lagi hanya isak tangis yang terdengar ketika bibirku mengucapkan namanya dengan lemah bahkan nyaris tak terdengar. Sungguh aku sudah lelah jika harus terus seperti ini. Aku lelah jika harus terus merasa kehilangan dan ditinggalkan seperti ini. Apakah aku tidak pantas untuk merasakan kebahagiaan?
* * *
Pagi ini mentari tidak bersinar cerah, ia bersembunyi dibalik awan yang hitam pekat dan butir-butir air berjatuhan ke bumi. Namun, langit yang gelap ini tidak mencerminkan apa yang aku rasakan. Senyumanku begitu cerah hari ini. Tau apa yang membuatku tersenyum secerah ini? Hari ini adalah tanggal 25 Februari 2016. Tepat 1 tahun yang lalu, aku menerima pernyataan cinta dari laki-laki yang aku sukai sejak lama. Ia adalah temanku di masa sekolah dulu. Tak kusangka, ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama. Aku tak bisa menyembunyikan senyumanku ketika aku mengingat hari yang sungguh bahagia itu.
Tetapi, hari ini jauh lebih membahagiakan. Ia berjanji akan mengajakku untuk bertemu orang tuanya. Ya, ini memang bukan pertama kali aku menemui kedua orang tuanya. Namun, kali ini berbeda. Ia akan memperkenalkanku jauh lebih dalam pada kedua orang tuanya.
Aku hampir lupa satu hal. Perkenalkan, aku Nasya Chintya. Usiaku baru saja memasuki 23 tahun. Sudah cukup dewasa memang. Pertanyaan tentang kapan aku menikah pun sudah tak asing lagi bagiku.
Aku bekerja di sebuah toko bunga milikku sendiri sejak beberapa tahun yang lalu. Aku hidup sendiri di toko yang sekaligus rumahku ini. Orang tuaku sudah cukup lama meninggalkanku akibat kecelakaan maut yang menimpa mereka. Aku sempat sangat depresi dan terpukul kala itu. Namun setelah itu, aku segera memutuskan untuk hidup mandiri dan membangun toko bunga ini dengan hasil kerja kerasku.
“Kringg...kringg..”
Lonceng didepan pintu yang menandakan ada orang yang datang ke tokoku berbunyi. Aku yang sedang sibuk merapikan bunga langsung menuju ke pintu untuk menyambut orang yang datang.
“Oh. Selamat datang, tuan. Silahkan, ada banyak bunga yang indah untuk hari yang begitu indah ini.”
Aku harus menyambut siapapun yang datang karena itu sudah menjadi kebiasaanku, meskipun orang ini bukanlah orang asing.
Orang itu berjalan menuju kearah meja tempat aku meletakkan bucket bunga yang kubuat sendiri dan mengambil bucket bunga mawar putih. Bunga kesukaanku.
“Bunga yang indah, untuk wanita yang terindah.”
Ia memberikan bucket bunga itu padaku. Pipiku memanas. Tak bisa kusembunyikan senyumanku meskipun sudah seringkali diperlakukan begini olehnya.
“Curang. Kamu kan belum bayar bunga ini, kebiasaan.”
Aku menerima bunga mawar putih kesukaanku itu darinya.
“Aku akan bayar sekaligus dengan toko dan seluruh isinya. Haha.”
“Sombong. Kalau kamu beli tokonya, aku gak punya pekerjaan dong.”
“Kamu gak perlu kerja lagi, cantik. Kan udah mau jadi istriku.”
Blush. Oh, tidak. Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikannya lagi. Aku yakin sekarang pipiku sudah benar-benar memerah.
“Aku gak pernah bilang mau jadi istri kamu tuh. Huh.”
“Haha. You’re so cute, as always.”
Ia mengusap lembut rambutku, dan senyuman manis yang selalu mampu meluluhkan hatiku itu tak pernah luntur dari wajahnya. Aku tak pernah menyangka bisa seberuntung ini. Memiliki lelaki yang begitu baik dan lembut seperti dia. Ya, dia adalah Raka Pratama. Kekasihku sejak setahun yang lalu. Ia selalu mengunjungiku setiap pagi sebelum ia berangkat ke tempat kerjanya.
“Happy 1st anniversary, dear. Close your eyes, please.”
Aku mengikuti perintahnya untuk menutup mataku. Ku rasakan sesuatu melingkar di leherku.
“Sekarang buka.”
Aku membuka mataku perlahan dan melihat benda yang melingkar di leherku. Sebuah kalung permata bunga yang begitu indah.
“Wah. Indahnya. Ini buat aku?”
“Buat siapa lagi? Udah jelas aku pakein itu buat kamu.”
“Kali aja buat cewek lain, kan bisa jadi kamu cuman mau mastiin ini cocok atau gak buat dia.”
Sontak ia mencubit kedua pipiku gemas setelah melihat wajahku yang sedang cemberut.
“Cewek mana? Dia siapa? Mana mungkin aku berpaling dari kamu.”
“Uh. Iyaiya, yaudah lepasin. Sakit tau.”
Ia mengelus lembut kedua pipiku yang baru saja ia cubit. “Udah sarapan? Pasti belum kan?”
“Belum. Kok kamu tau?”
“Aku bukan baru sehari kenal kenal kamu, Na. Tiap pagi aku kesini kamu pasti belum sarapan.” Ia menyodorkan sebuah kantung plastik yang ia bawa sejak tadi, “nih makan dulu. Aku bawain roti kesukaan kamu.”
Dengan semangat aku langsung membuka kantung yang berisi kotak bertuliskan nama toko roti kesukaanku. Tanpa basa-basi aku membuka kotaknya dan mengambil isinya.
“Wah. Menggoda seperti biasanya. Aku makan ya?”
“Jangan dimakan.”
“Yah.. kok jangan?”
Dengan sedih aku menatap sepotong roti di tanganku.
“Haha. Jangan sedih gitu. Makanlah sayangku. Masa cuma diliatin.”
“Yeay!” Dengan lahap aku menyantap roti kesukaanku. Tiba-tiba terdengar suara deringan handphone Raka.
“Bentar ya. Aku angkat telpon dulu.”
Aku mengangguk sambil terus melahap roti yang sangat kusuka. Sejak hari pertama jadian, Raka mengajakku ke toko roti ini. Ia berkata bahwa aku pasti akan langsung jatuh hati dengan rasa dari roti di toko itu. Benar saja, aku sangat menyukai roti itu hingga sekarang.
“Nasya, tadi aku ditelpon atasan disuruh ke kantor sekarang. Maaf ya gak bisa lama hari ini.”
“Oh. Gapapa, Raka. Ini makan dulu satu rotinya.” Aku menyuapinya sepotong roti lalu memberinya air minum yang selalu kusiapkan di mejaku.
“Dah ya. Kamu disini aja, gak usah antar aku ke depan. Diluar hujan deras. Aku pergi dulu, jaga diri kamu.”
Ia mengusap rambutku lalu berjalan menuju pintu.
Aku melambaikan tanganku padanya. “Dah. Hati-hati ya.”
Tiba-tiba langkahnya terhenti kemudian berbalik. “Aku kelupaan sesuatu.” Ia kembali berjalan menuju kearahku.
“Kelupaan ap..”
Dengan cepat ia mengecup keningku. Berhasil membuatku terpaku dan pipiku kembali merona. Dengan tersenyum jahil ia kembali berjalan menuju keluar.
“Ih! Kamu..”
“Haha. Dah sayang.”
Akhirnya ia benar-benar meninggalkan tokoku dengan mobilnya. Hujan semakin deras dan langitpun semakin gelap. Tetapi sebaliknya, hati dan senyumanku malah semakin cerah.
* * *
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Hujan pun kini sudah reda meski langit masih mendung. Seperti biasa, kini aku tengah menyiapkan makan siang untuk Raka yang akan kuantarkan ke kantornya.
“Udah siap. Sekarang waktunya ke kantor Raka.”
Dengan wajah berseri aku membawakan bekal makan siang untuk Raka. Tak lupa sebelum meninggalkan toko, aku menutup tokoku untuk sementara pada jam istirahat.
Meskipun cuaca hari ini tidak bersahabat namun hal itu tidak melunturkan semangatku hari ini. Akhirnya taksi yang kupesan pun tiba. Dengan cepat taksi yang kutumpangi melesat menuju ke kantor Raka.
Aku berjalan menelusuri kantor Raka masih dengan senyuman cerah yang tak luntur dari wajahku. Tetapi, ada hal yang mengganjal ketika aku sampai didepan ruangan Raka. Sepertinya ada seseorang di dalam sana.
“Raka, udah berapa kali Mama bilang. Kenapa kamu masih selalu ketemu sama perempuan itu? Mama gak suka sama Nasya. Mama udah cari tau tentang dia. Keluarga gak ada, tinggal sendiri. Nanti apa kata orang? Raka dari keluarga terhormat menikah dengan wanita yang gak jelas asal-usulnya.”
“Ma, Raka mohon. Biarin Raka bawa Nasya ke rumah kita hari ini. Kasi kesempatan Raka buat kenalin dia ke Mama dan Papa. Buat nunjukkin sifat Nasya yang baik dan gak akan pernah Mama temui wanita sebaik Nasya bahkan dari keluarga terhormat sekalipun. Raka mohon, Ma.”
“Pokoknya Mama gak akan pernah setuju! Mama pulang sekarang!”
Hatiku bagai tersambar petir di siang bolong saat tanpa sengaja mendengar percakapan dari dalam ruangan Raka. Dengan segera aku bersembunyi saat menyadari Ibunya Raka akan keluar dari dalam ruangan. Ya, itu adalah Ibunya Raka. Memang sudah sejak lama aku menyadari bahwa keluarga Raka terutama Ibunya, tidak menyukaiku. Aku merasa seperti itu sejak pertama kali diajak Raka kerumahnya. Keluarganya tampak menghindariku dan bahkan tidak pernah mengajakku bicara. Namun, sekarang hatiku benar-benar hancur berkeping-keping setelah mendengar bahwa Ibunya tidak menyukaiku dan tidak menyetujui hubungan kami secara langsung.
Setelah mendengar percakapan itu, aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kotak bekal yang telah kusiapkan untuk Raka di depan ruangannya.
Hujan mulai turun lagi. Kini, cuaca hari ini sama seperti hatiku. Meskipun hujan semakin deras, aku tetap berjalan perlahan dan membiarkan air hujan membasahiku. Air mataku jatuh beriringan dengan hujan yang membasahi wajahku.
Entah sudah berapa lama dan sudah seberapa jauh aku berjalan. Aku tak tau kemana kaki ini melangkah. Aku tak tau kemana arah yang kutuju. Sampai akhirnya sebuah mobil berhenti tepat didepanku.
Tampak Raka keluar dari mobil itu dan berlari kearahku. Tanpa ragu ia segera memelukku.
“Maaf, Nasya.”
Aku melihat kearahnya. Meskipun menangis saat ini, aku yakin ia takkan tau karena air mataku jatuh bersamaan dengan air hujan.
“Maaf apa?”
“Kita masuk ke mobil dulu ya sekarang. Aku gak mau kamu sakit.” Ia merangkul ku dan membawaku masuk ke mobilnya. Dengan segera ia menyelimuti tubuhku yang sudah basah kuyup dengan selimut yang ia siapkan. Dan mencoba mengeringkan rambutku dengan handuk kecil.
“Aku gak suka kamu hujan-hujanan gini. Kamu lupa ya? Nanti malam kamu kan mau kerumahku. Kalo kamu sakit gimana?”
Aku tersenyum kecil melihat raut wajahnya yang tampak begitu khawatir padaku. Aku tau ia sengaja mengalihkan suasana agar aku melupakan percakapan yang kudengar tadi. Walaupun aku tau pasti ia sadar bahwa tadi aku mendengar seluruh percakapannya setelah melihat kotak bekal yang kubawa tadi ada di kursi belakang mobilnya. Ia hanya tak ingin menyakitiku. Namun, percakapan yang kudengar dari ruangannya tadi kembali terngiang di telingaku.
“Raka..”
“Hm?” Ia masih tetap mengeringkan rambutku dengan lembut.
“Pergi kerumah kamu.. nanti aja ya. Aku gak enak badan.”
Ia berhenti sejenak, “Yaudah, kalo gitu nanti malam aku aja yang kerumah kamu.”
“Eh, jangan. Pasti masih banyak pekerjaan yang harus kamu kerjain kan? Jadi kamu istirahat dirumah aja ya.” Aku mengambil alih handuk dari tangan Raka dan beralih mengusap rambutnya yang juga basah dengan lembut.
Raka menatapku dengan raut wajah khawatir kemudian mengusap lembut rambutku dengan tangannya. “Istirahat ya, jangan lupa makan. Nanti kita singgah dulu beli obat. Jangan lupa minum obatnya. Okay?”
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. Melihat betapa sayangnya ia padaku, sejenak aku dapat melupakan percakapan yang mengiris hatiku tadi.
* * *
Beberapa bulan berlalu begitu saja. Sampai saat ini hubunganku dan Raka masih baik-baik saja. Tetapi, keluarganya masih tidak menyukaiku. Beberapa kali aku diajak kerumahnya, semuanya masih sama seperti yang sudah terjadi. Mereka menghindariku, dan tidak bicara padaku. Jelas, mereka mengabaikanku. Meski begitu, Raka terus meyakinkanku bahwa hubungan kami akan baik-baik saja dan ia juga akan segera melamarku.
Hari ini, Raka mengajakku makan malam di sebuah restoran romantis di tengah kota. Ia mengirimkan taksi untuk menjemputku dan memintaku untuk menunggunya disana, karena ia harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat penting.
Hujan turun lagi. Aku khawatir. Tidak biasanya Raka terlambat. Sekarang sudah dua jam aku menunggunya disini. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Aku memutuskan untuk menunggunya di luar restoran.
Tak lama, dari sebrang jalan tampak Raka membawa bucket bunga mawar putih kesukaanku yang cukup besar. Anehnya, ia tak mengendarai mobilnya. Raka melambaikan tangannya padaku saat menyadari keberadaanku didepan restoran. Aku berjalan mendekati jalanan.
Raka berlari menyebrang jalan dengan senyum cerianya menerobos rintik hujan. Namun, tiba-tiba..
“Braaakkk!!”
Aku terpaku. Sesaat bayangan kecelakaan hebat yang menimpa kedua orang tuaku tiba-tiba kembali muncul dihadapanku. Kakiku langsung lemas. Sejenak aku terdiam. Aku tak percaya apa yang telah terjadi tepat dihadapanku sekarang. Sekerumunan orang berlari mendekati arah jalanpun menyadarkanku. Dengan segera aku berlari menerobos kerumuman itu.
Kakiku sudah tak bisa menopang tubuhku, aku langsung terduduk lemas tepat disebelah Raka yang terbaring tak berdaya dengan berlumuran darah. Hatiku teriris. Raka masih memeluk bunga mawar putih yang kini sebagiannya sudah berubah warna menjadi warna merah darah.
“Ra..Raka..”
Aku tak bisa menahan tangisanku. Tak mampu lagi berkata-kata aku memangku kepala Raka di kakiku. Raka sudah tak sadarkan diri. Dengan lemas aku memeluknya.
“Aku mohon.. siapapun tolong.. bawa Raka ke rumah sakit. Aku mohon.. tolong..”
Masih tak percaya dengan apa yang terjadi dihadapanku. Aku terus memandangi wajah Raka yang penuh darah hingga orang-orang mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit.
* * *
Seakan masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi pada Raka, aku terduduk lemas didepan ruang IGD rumah sakit tempat Raka dilarikan. Bungkam. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Hanya bisa memandang apa yang ada dihadapanku dengan tatapan kosong.
Tak lama aku mendengar suara langkah berlarian kearahku dengan memanggil-manggil nama Raka.
“Mana Raka? Kenapa bisa begini? Ini semua pasti gara-gara kamu perempuan pembawa sial!” Dengan tangisannya, Ibu Raka menarikku dan langsung menamparku hingga aku terduduk di lantai.
“Ma, udah. Ini bukan saatnya kayak gini. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah keadaan Raka.” Terdengar suara Ayah Raka yang berusaha menenangkan istrinya.
Beberapa waktu setelah itu, dokter keluar dari ruangan. Semua mendekati Dokter tersebut. Aku berusaha berdiri dan juga ingin mendengar tentang keadaan Raka.
“Dok, gimana keadaannya anak saya? Dia baik-baik aja kan, Dok?” Isak tangis Ibu Raka semakin jelas terdengar.
“Begini, kabar baiknya Raka selamat. Namun, ia menderita cidera yang cukup parah di tubuhnya. Tapi dengan perawatan intensif, ia akan berangsur pulih.”
Semua menghela napas lega, termasuk aku. Sungguh, aku sangat senang mendengar bahwa Raka bisa selamat.
“Tetapi, ada kabar buruk yang cukup berat untuk saya katakan.” Semua kembali memperhatikan ucapan Dokter tersebut. “Saat kecelakaan tadi, mata Raka tertusuk pecahan kaca mobil yang mengakibatkan Raka mengalami kebutaan.”
Lemas. Rasanya aku masih tak bisa mempercayai semuanya. Yang terjadi hari ini seperti mimpi.
“Mohon maaf, tetapi kami sudah melakukan yang terbaik. Namun kami tidak bisa menyelamatkan mata Raka. Kalau begitu, saya permisi.”
Ibu Raka histeris. Ia menarikku dan memukul-mukulku.
“Kamu liat apa yang sudah kamu lakukan? Sekarang pergi! Jangan pernah muncul dihadapan saya lagi! Dan jangan pernah ganggu kehidupan Raka lagi! Pergi!!”
Dengan sekuat tenaga ia mendorongku hingga aku terduduk. Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku memilih pergi saat ini, dengan tangisanku dan tanpa suara.
* * *
Keesokan harinya aku memutuskan untuk menemui dokter yang merawat Raka. Entah, mungkin karena kebetulan, dokter yang merawatnya adalah temanku dan Raka diwaktu kami duduk di bangku SMA.
“Ada apa, Na?” Ia langsung bertanya padaku begitu aku sampai di ruangannya. “Pasti tentang Raka ya?”
“Iya, Lisa. Aku mau minta tolong sama kamu.” Aku berucap dengan raut wajah yang serius pada temanku, Dokter Lisa. “Aku mau donorin mataku buat Raka.”
“Apa? Kamu serius, Na?” Ia begitu terkejut mendengar perkataanku hingga membuatnya sontak berdiri dari kursinya.
“Iya, Sa. Aku udah pikirkan semuanya. Aku mohon.. Segera lakuin operasinya. Aku gak mau Raka menderita.. ini semua gara-gara aku.” Tak bisa lagi menahan isak tangisku di depan Lisa, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Lisa menghampiriku dan memelukku.
“Aku bakalan lakuin, Na. Tapi aku mohon jangan salahin diri kamu sendiri. Ini murni kecelakaan.” Lisa berusaha menenangkanku. “Tapi, sebelum itu kamu pasti mau ketemu Raka kan? Sekarang, keluarga Raka gak ada disini. Kamu bisa temui dia sekarang.”
“Makasih banyak, Sa. Tapi, aku gak mau siapapun tau kalau yang donorin mata untuk Raka itu aku. Termasuk Raka. Tolong kamu jaga rahasia ini.”
Aku senang. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk melihat Raka terakhir kalinya. Sebelum aku benar-benar tidak bisa melihatnya, untuk selamanya.
Perlahan ku buka pintu kamar tempat Raka dirawat. Aku tak tega melhat Raka yang sampai saat ini belum sadarkan diri dan terbaring lemas diatas ranjang. Kudekati Raka, ku tatap wajahnya yang damai. Mungkin.. ini untuk yang terakhir kalinya.
“Raka, maafin aku. Aku gak bisa tepati janji untuk selalu ada disisimu. Mulai sekarang, kamu jaga diri ya. Jangan sakit, kamu gak boleh sakit.” Lagi, air mataku menetes tanpa perintah. “Makasih banyak untuk semua yang pernah kamu berikan. Aku bahagia pernah memiliki orang sebaik kamu. I love you, Raka.”
Kutinggalkan ruangan Raka dengan langkah berat. Sungguh, aku tak pernah ingin meninggalkannya. Tapi, aku tak bisa memaksakan semuanya agar berjalan sesuai dengan keinginanku. Maaf Raka, aku tak berdaya dan harus pergi. Apalah arti sebuah hubungan jika tak direstui. Selamat tinggal, Raka.
* * *
Musim hujan datang lagi. Rintik hujan setia menemani hari-hariku. Akupun masih setia duduk sambil memandangi hujan dari kaca jendela kamarku. Tidak, aku hanya merasakan dinginnya hujan tapi tak bisa menatapnya. Sudah setahun aku begini, tak ada yang bisa kulakukan. Aku juga masih saja belum bisa melupakannya meski aku sudah mengambil langkah dengan menutup toko bungaku dan pindah rumah agar bisa melupakannya. Tetapi, tetap saja aku tak bisa melupakannya. Memang benar apa yang orang katakan, semakin kau berusaha untuk melupakannya, semakin keras kau berjuang melupakannya, semakin sulitlah kau melupakannya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Seperti biasa, hingga sekarang Lisa selalu mengunjungiku setiap hari. Ia selalu datang untuk melihat keadaanku. Aku berjalan keluar dari kamar sambil menggapai dinding-dinding berusaha mencapai pintu dan membukanya.
“Lisa, udah selesaikah dari rumah sakit hari ini?”
“Hm? Lisa?”
Suara itu. Suara yang tak asing bagiku. Suara yang selama ini aku rindukan.
“Si..siapa?”
Ia menggapai tanganku. Dan meletakkan sesuatu yang bisa kucium wanginya. Wangi yang aku sukai, bunga mawar putih. “Bunga yang indah, untuk wanita terindah.”
Kalimat itu.. kalimat yang dulu paling aku sukai. Kalimat yang selalu kudengar setiap hari. Kalimat dari orang yang paling kucintai. Aku pasti bermimpi. Ini sungguh sangat mustahil.
Lututku melemas, hampir saja aku terjatuh. Namun, dengan sigap ia memelukku. “I miss you so bad, Nasya. Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu ninggalin aku? Dan kenapa kamu lakuin ini?”
Aku sungguh tak percaya. Tapi ini terasa sangat nyata. Raka.. Raka kembali dan memelukku. Aku tak tahan lagi, aku tak bisa menahan tangisanku. Terlalu lemah untuk berkata-kata, aku hanya bisa menangis dipelukannya.
“Kamu pasti kaget ya, Na?” Suara tak asing muncul dari arah belakang Raka. Ya, suara Lisa. Aku melepas pelukan Raka perlahan, “Aku yang kasi tau semuanya ke Raka. Aku gak tahan liat kamu menderita dan selalu menyalahkan diri kamu sendiri. Kamu juga pantas bahagia, Na. Aku yakin, Raka adalah kebahagiaan kamu. Raka, jaga Nasya baik-baik ya. Dah semuanya, sekarang aku harus ke rumah sakit lagi.” Suara langkah kaki Lisa perlahan pergi menjauh.
Raka memegang pundakku. “Apa kabar, sayang? Kamu tau gak, Mama udah tau semuanya. Hari ini Mama dan Papa mau ketemu kamu. Mau bicarain soal pernikahan kita. Kamu.. masih mau kan nikah sama aku?”
Isak tangisku semakin menjadi, aku benar-benar tak percaya dan benar-benar bahagia. Perasaanku bercampur aduk. “Tapi Raka aku bu..”
“Ssstt..” Raka seakan tau apa yang akan kukatakan pun dengan segera menghentikanku. “Nasya dengar, aku gak peduli bagaimanapun keadaan kamu, aku tetap cinta kamu. Kamu tau? Aku hampir gila karna kamu menghilang dan pergi gitu aja. Aku mohon Nasya, jangan tinggalin aku lagi. Aku janji bakal jagain kamu. Aku gak akan pernah sakitin kamu. Jadilah istriku, Nasya.”
Kali ini aku menangis bahagia. Ku anggukan kepalaku perlahan mengiyakan perkataan Raka. Kembali Raka memelukku erat seakan tak ingin kehilanganku lagi.
Aku benar-benar bahagia. Ternyata benar apa kata Lisa, semua orang berhak bahagia. Begitupun denganku, aku berhak bahagia dan Raka adalah kebahagiaanku.
* * * * * *
Nanda Sukma Ayuni merupakan Agen Literasi Kalimantan Barat demi Bangsa yang lebih maju. Gadis yang masih kuliah ini memiliki panggilan Nachan yang lahir di Anjungan pada 2 September 1999. Keinginan menjadi agen literasi Kalimantan Barat membenak di hati karena sejalan dengan hobinya membaca dan menulis. Gadis ini menciptakan dunia sendiri dengan membaca dan menulis, sama dengan mottonya, yaitu Ciptakan duniamu sendiri dengan membaca dan menulis.
Ingin tau tentang Nachan hubungi via instagram: @nandachaan dan @literasikalbar
Butiran air jatuh perlahan membasahi bumi. Bintik-bintik embun mulai menyelimuti kaca jendela kamarku. Aku masih duduk terpaku, menatap hujan turun dengan tatapan kosong. Tidak, sebenarnya aku tidak menatapnya, tetapi hanya merasakannya.
Hampa. Itulah perasaan yang setia menghampiri hatiku sejak 1 tahun yang lalu. Entah sejak kapan duduk disamping kaca jendela menjadi hobiku. Entah sejak kapan pula menatap hujan turun menjadi hal yang paling aku sukai. Aku masih terus berharap ia akan kembali padaku, walau kutau itu mustahil.
Tubuhku rasanya sungguh tak berdaya untuk beranjak dari sini. Rapuh. Rasanya kini sebagian dari diriku telah hilang. Hatiku sudah mati. Bahkan lidah rasanya tak mampu lagi untuk berucap. Seperti orang mati. Hanya tetesan air mata yang masih menunjukkan bahwa ragaku masih bernyawa.
"Raka.."
Lagi-lagi hanya isak tangis yang terdengar ketika bibirku mengucapkan namanya dengan lemah bahkan nyaris tak terdengar. Sungguh aku sudah lelah jika harus terus seperti ini. Aku lelah jika harus terus merasa kehilangan dan ditinggalkan seperti ini. Apakah aku tidak pantas untuk merasakan kebahagiaan?
* * *
Pagi ini mentari tidak bersinar cerah, ia bersembunyi dibalik awan yang hitam pekat dan butir-butir air berjatuhan ke bumi. Namun, langit yang gelap ini tidak mencerminkan apa yang aku rasakan. Senyumanku begitu cerah hari ini. Tau apa yang membuatku tersenyum secerah ini? Hari ini adalah tanggal 25 Februari 2016. Tepat 1 tahun yang lalu, aku menerima pernyataan cinta dari laki-laki yang aku sukai sejak lama. Ia adalah temanku di masa sekolah dulu. Tak kusangka, ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama. Aku tak bisa menyembunyikan senyumanku ketika aku mengingat hari yang sungguh bahagia itu.
Tetapi, hari ini jauh lebih membahagiakan. Ia berjanji akan mengajakku untuk bertemu orang tuanya. Ya, ini memang bukan pertama kali aku menemui kedua orang tuanya. Namun, kali ini berbeda. Ia akan memperkenalkanku jauh lebih dalam pada kedua orang tuanya.
Aku hampir lupa satu hal. Perkenalkan, aku Nasya Chintya. Usiaku baru saja memasuki 23 tahun. Sudah cukup dewasa memang. Pertanyaan tentang kapan aku menikah pun sudah tak asing lagi bagiku.
Aku bekerja di sebuah toko bunga milikku sendiri sejak beberapa tahun yang lalu. Aku hidup sendiri di toko yang sekaligus rumahku ini. Orang tuaku sudah cukup lama meninggalkanku akibat kecelakaan maut yang menimpa mereka. Aku sempat sangat depresi dan terpukul kala itu. Namun setelah itu, aku segera memutuskan untuk hidup mandiri dan membangun toko bunga ini dengan hasil kerja kerasku.
“Kringg...kringg..”
Lonceng didepan pintu yang menandakan ada orang yang datang ke tokoku berbunyi. Aku yang sedang sibuk merapikan bunga langsung menuju ke pintu untuk menyambut orang yang datang.
“Oh. Selamat datang, tuan. Silahkan, ada banyak bunga yang indah untuk hari yang begitu indah ini.”
Aku harus menyambut siapapun yang datang karena itu sudah menjadi kebiasaanku, meskipun orang ini bukanlah orang asing.
Orang itu berjalan menuju kearah meja tempat aku meletakkan bucket bunga yang kubuat sendiri dan mengambil bucket bunga mawar putih. Bunga kesukaanku.
“Bunga yang indah, untuk wanita yang terindah.”
Ia memberikan bucket bunga itu padaku. Pipiku memanas. Tak bisa kusembunyikan senyumanku meskipun sudah seringkali diperlakukan begini olehnya.
“Curang. Kamu kan belum bayar bunga ini, kebiasaan.”
Aku menerima bunga mawar putih kesukaanku itu darinya.
“Aku akan bayar sekaligus dengan toko dan seluruh isinya. Haha.”
“Sombong. Kalau kamu beli tokonya, aku gak punya pekerjaan dong.”
“Kamu gak perlu kerja lagi, cantik. Kan udah mau jadi istriku.”
Blush. Oh, tidak. Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikannya lagi. Aku yakin sekarang pipiku sudah benar-benar memerah.
“Aku gak pernah bilang mau jadi istri kamu tuh. Huh.”
“Haha. You’re so cute, as always.”
Ia mengusap lembut rambutku, dan senyuman manis yang selalu mampu meluluhkan hatiku itu tak pernah luntur dari wajahnya. Aku tak pernah menyangka bisa seberuntung ini. Memiliki lelaki yang begitu baik dan lembut seperti dia. Ya, dia adalah Raka Pratama. Kekasihku sejak setahun yang lalu. Ia selalu mengunjungiku setiap pagi sebelum ia berangkat ke tempat kerjanya.
“Happy 1st anniversary, dear. Close your eyes, please.”
Aku mengikuti perintahnya untuk menutup mataku. Ku rasakan sesuatu melingkar di leherku.
“Sekarang buka.”
Aku membuka mataku perlahan dan melihat benda yang melingkar di leherku. Sebuah kalung permata bunga yang begitu indah.
“Wah. Indahnya. Ini buat aku?”
“Buat siapa lagi? Udah jelas aku pakein itu buat kamu.”
“Kali aja buat cewek lain, kan bisa jadi kamu cuman mau mastiin ini cocok atau gak buat dia.”
Sontak ia mencubit kedua pipiku gemas setelah melihat wajahku yang sedang cemberut.
“Cewek mana? Dia siapa? Mana mungkin aku berpaling dari kamu.”
“Uh. Iyaiya, yaudah lepasin. Sakit tau.”
Ia mengelus lembut kedua pipiku yang baru saja ia cubit. “Udah sarapan? Pasti belum kan?”
“Belum. Kok kamu tau?”
“Aku bukan baru sehari kenal kenal kamu, Na. Tiap pagi aku kesini kamu pasti belum sarapan.” Ia menyodorkan sebuah kantung plastik yang ia bawa sejak tadi, “nih makan dulu. Aku bawain roti kesukaan kamu.”
Dengan semangat aku langsung membuka kantung yang berisi kotak bertuliskan nama toko roti kesukaanku. Tanpa basa-basi aku membuka kotaknya dan mengambil isinya.
“Wah. Menggoda seperti biasanya. Aku makan ya?”
“Jangan dimakan.”
“Yah.. kok jangan?”
Dengan sedih aku menatap sepotong roti di tanganku.
“Haha. Jangan sedih gitu. Makanlah sayangku. Masa cuma diliatin.”
“Yeay!” Dengan lahap aku menyantap roti kesukaanku. Tiba-tiba terdengar suara deringan handphone Raka.
“Bentar ya. Aku angkat telpon dulu.”
Aku mengangguk sambil terus melahap roti yang sangat kusuka. Sejak hari pertama jadian, Raka mengajakku ke toko roti ini. Ia berkata bahwa aku pasti akan langsung jatuh hati dengan rasa dari roti di toko itu. Benar saja, aku sangat menyukai roti itu hingga sekarang.
“Nasya, tadi aku ditelpon atasan disuruh ke kantor sekarang. Maaf ya gak bisa lama hari ini.”
“Oh. Gapapa, Raka. Ini makan dulu satu rotinya.” Aku menyuapinya sepotong roti lalu memberinya air minum yang selalu kusiapkan di mejaku.
“Dah ya. Kamu disini aja, gak usah antar aku ke depan. Diluar hujan deras. Aku pergi dulu, jaga diri kamu.”
Ia mengusap rambutku lalu berjalan menuju pintu.
Aku melambaikan tanganku padanya. “Dah. Hati-hati ya.”
Tiba-tiba langkahnya terhenti kemudian berbalik. “Aku kelupaan sesuatu.” Ia kembali berjalan menuju kearahku.
“Kelupaan ap..”
Dengan cepat ia mengecup keningku. Berhasil membuatku terpaku dan pipiku kembali merona. Dengan tersenyum jahil ia kembali berjalan menuju keluar.
“Ih! Kamu..”
“Haha. Dah sayang.”
Akhirnya ia benar-benar meninggalkan tokoku dengan mobilnya. Hujan semakin deras dan langitpun semakin gelap. Tetapi sebaliknya, hati dan senyumanku malah semakin cerah.
* * *
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Hujan pun kini sudah reda meski langit masih mendung. Seperti biasa, kini aku tengah menyiapkan makan siang untuk Raka yang akan kuantarkan ke kantornya.
“Udah siap. Sekarang waktunya ke kantor Raka.”
Dengan wajah berseri aku membawakan bekal makan siang untuk Raka. Tak lupa sebelum meninggalkan toko, aku menutup tokoku untuk sementara pada jam istirahat.
Meskipun cuaca hari ini tidak bersahabat namun hal itu tidak melunturkan semangatku hari ini. Akhirnya taksi yang kupesan pun tiba. Dengan cepat taksi yang kutumpangi melesat menuju ke kantor Raka.
Aku berjalan menelusuri kantor Raka masih dengan senyuman cerah yang tak luntur dari wajahku. Tetapi, ada hal yang mengganjal ketika aku sampai didepan ruangan Raka. Sepertinya ada seseorang di dalam sana.
“Raka, udah berapa kali Mama bilang. Kenapa kamu masih selalu ketemu sama perempuan itu? Mama gak suka sama Nasya. Mama udah cari tau tentang dia. Keluarga gak ada, tinggal sendiri. Nanti apa kata orang? Raka dari keluarga terhormat menikah dengan wanita yang gak jelas asal-usulnya.”
“Ma, Raka mohon. Biarin Raka bawa Nasya ke rumah kita hari ini. Kasi kesempatan Raka buat kenalin dia ke Mama dan Papa. Buat nunjukkin sifat Nasya yang baik dan gak akan pernah Mama temui wanita sebaik Nasya bahkan dari keluarga terhormat sekalipun. Raka mohon, Ma.”
“Pokoknya Mama gak akan pernah setuju! Mama pulang sekarang!”
Hatiku bagai tersambar petir di siang bolong saat tanpa sengaja mendengar percakapan dari dalam ruangan Raka. Dengan segera aku bersembunyi saat menyadari Ibunya Raka akan keluar dari dalam ruangan. Ya, itu adalah Ibunya Raka. Memang sudah sejak lama aku menyadari bahwa keluarga Raka terutama Ibunya, tidak menyukaiku. Aku merasa seperti itu sejak pertama kali diajak Raka kerumahnya. Keluarganya tampak menghindariku dan bahkan tidak pernah mengajakku bicara. Namun, sekarang hatiku benar-benar hancur berkeping-keping setelah mendengar bahwa Ibunya tidak menyukaiku dan tidak menyetujui hubungan kami secara langsung.
Setelah mendengar percakapan itu, aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kotak bekal yang telah kusiapkan untuk Raka di depan ruangannya.
Hujan mulai turun lagi. Kini, cuaca hari ini sama seperti hatiku. Meskipun hujan semakin deras, aku tetap berjalan perlahan dan membiarkan air hujan membasahiku. Air mataku jatuh beriringan dengan hujan yang membasahi wajahku.
Entah sudah berapa lama dan sudah seberapa jauh aku berjalan. Aku tak tau kemana kaki ini melangkah. Aku tak tau kemana arah yang kutuju. Sampai akhirnya sebuah mobil berhenti tepat didepanku.
Tampak Raka keluar dari mobil itu dan berlari kearahku. Tanpa ragu ia segera memelukku.
“Maaf, Nasya.”
Aku melihat kearahnya. Meskipun menangis saat ini, aku yakin ia takkan tau karena air mataku jatuh bersamaan dengan air hujan.
“Maaf apa?”
“Kita masuk ke mobil dulu ya sekarang. Aku gak mau kamu sakit.” Ia merangkul ku dan membawaku masuk ke mobilnya. Dengan segera ia menyelimuti tubuhku yang sudah basah kuyup dengan selimut yang ia siapkan. Dan mencoba mengeringkan rambutku dengan handuk kecil.
“Aku gak suka kamu hujan-hujanan gini. Kamu lupa ya? Nanti malam kamu kan mau kerumahku. Kalo kamu sakit gimana?”
Aku tersenyum kecil melihat raut wajahnya yang tampak begitu khawatir padaku. Aku tau ia sengaja mengalihkan suasana agar aku melupakan percakapan yang kudengar tadi. Walaupun aku tau pasti ia sadar bahwa tadi aku mendengar seluruh percakapannya setelah melihat kotak bekal yang kubawa tadi ada di kursi belakang mobilnya. Ia hanya tak ingin menyakitiku. Namun, percakapan yang kudengar dari ruangannya tadi kembali terngiang di telingaku.
“Raka..”
“Hm?” Ia masih tetap mengeringkan rambutku dengan lembut.
“Pergi kerumah kamu.. nanti aja ya. Aku gak enak badan.”
Ia berhenti sejenak, “Yaudah, kalo gitu nanti malam aku aja yang kerumah kamu.”
“Eh, jangan. Pasti masih banyak pekerjaan yang harus kamu kerjain kan? Jadi kamu istirahat dirumah aja ya.” Aku mengambil alih handuk dari tangan Raka dan beralih mengusap rambutnya yang juga basah dengan lembut.
Raka menatapku dengan raut wajah khawatir kemudian mengusap lembut rambutku dengan tangannya. “Istirahat ya, jangan lupa makan. Nanti kita singgah dulu beli obat. Jangan lupa minum obatnya. Okay?”
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. Melihat betapa sayangnya ia padaku, sejenak aku dapat melupakan percakapan yang mengiris hatiku tadi.
* * *
Beberapa bulan berlalu begitu saja. Sampai saat ini hubunganku dan Raka masih baik-baik saja. Tetapi, keluarganya masih tidak menyukaiku. Beberapa kali aku diajak kerumahnya, semuanya masih sama seperti yang sudah terjadi. Mereka menghindariku, dan tidak bicara padaku. Jelas, mereka mengabaikanku. Meski begitu, Raka terus meyakinkanku bahwa hubungan kami akan baik-baik saja dan ia juga akan segera melamarku.
Hari ini, Raka mengajakku makan malam di sebuah restoran romantis di tengah kota. Ia mengirimkan taksi untuk menjemputku dan memintaku untuk menunggunya disana, karena ia harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat penting.
Hujan turun lagi. Aku khawatir. Tidak biasanya Raka terlambat. Sekarang sudah dua jam aku menunggunya disini. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Aku memutuskan untuk menunggunya di luar restoran.
Tak lama, dari sebrang jalan tampak Raka membawa bucket bunga mawar putih kesukaanku yang cukup besar. Anehnya, ia tak mengendarai mobilnya. Raka melambaikan tangannya padaku saat menyadari keberadaanku didepan restoran. Aku berjalan mendekati jalanan.
Raka berlari menyebrang jalan dengan senyum cerianya menerobos rintik hujan. Namun, tiba-tiba..
“Braaakkk!!”
Aku terpaku. Sesaat bayangan kecelakaan hebat yang menimpa kedua orang tuaku tiba-tiba kembali muncul dihadapanku. Kakiku langsung lemas. Sejenak aku terdiam. Aku tak percaya apa yang telah terjadi tepat dihadapanku sekarang. Sekerumunan orang berlari mendekati arah jalanpun menyadarkanku. Dengan segera aku berlari menerobos kerumuman itu.
Kakiku sudah tak bisa menopang tubuhku, aku langsung terduduk lemas tepat disebelah Raka yang terbaring tak berdaya dengan berlumuran darah. Hatiku teriris. Raka masih memeluk bunga mawar putih yang kini sebagiannya sudah berubah warna menjadi warna merah darah.
“Ra..Raka..”
Aku tak bisa menahan tangisanku. Tak mampu lagi berkata-kata aku memangku kepala Raka di kakiku. Raka sudah tak sadarkan diri. Dengan lemas aku memeluknya.
“Aku mohon.. siapapun tolong.. bawa Raka ke rumah sakit. Aku mohon.. tolong..”
Masih tak percaya dengan apa yang terjadi dihadapanku. Aku terus memandangi wajah Raka yang penuh darah hingga orang-orang mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit.
* * *
Seakan masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi pada Raka, aku terduduk lemas didepan ruang IGD rumah sakit tempat Raka dilarikan. Bungkam. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Hanya bisa memandang apa yang ada dihadapanku dengan tatapan kosong.
Tak lama aku mendengar suara langkah berlarian kearahku dengan memanggil-manggil nama Raka.
“Mana Raka? Kenapa bisa begini? Ini semua pasti gara-gara kamu perempuan pembawa sial!” Dengan tangisannya, Ibu Raka menarikku dan langsung menamparku hingga aku terduduk di lantai.
“Ma, udah. Ini bukan saatnya kayak gini. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah keadaan Raka.” Terdengar suara Ayah Raka yang berusaha menenangkan istrinya.
Beberapa waktu setelah itu, dokter keluar dari ruangan. Semua mendekati Dokter tersebut. Aku berusaha berdiri dan juga ingin mendengar tentang keadaan Raka.
“Dok, gimana keadaannya anak saya? Dia baik-baik aja kan, Dok?” Isak tangis Ibu Raka semakin jelas terdengar.
“Begini, kabar baiknya Raka selamat. Namun, ia menderita cidera yang cukup parah di tubuhnya. Tapi dengan perawatan intensif, ia akan berangsur pulih.”
Semua menghela napas lega, termasuk aku. Sungguh, aku sangat senang mendengar bahwa Raka bisa selamat.
“Tetapi, ada kabar buruk yang cukup berat untuk saya katakan.” Semua kembali memperhatikan ucapan Dokter tersebut. “Saat kecelakaan tadi, mata Raka tertusuk pecahan kaca mobil yang mengakibatkan Raka mengalami kebutaan.”
Lemas. Rasanya aku masih tak bisa mempercayai semuanya. Yang terjadi hari ini seperti mimpi.
“Mohon maaf, tetapi kami sudah melakukan yang terbaik. Namun kami tidak bisa menyelamatkan mata Raka. Kalau begitu, saya permisi.”
Ibu Raka histeris. Ia menarikku dan memukul-mukulku.
“Kamu liat apa yang sudah kamu lakukan? Sekarang pergi! Jangan pernah muncul dihadapan saya lagi! Dan jangan pernah ganggu kehidupan Raka lagi! Pergi!!”
Dengan sekuat tenaga ia mendorongku hingga aku terduduk. Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku memilih pergi saat ini, dengan tangisanku dan tanpa suara.
* * *
Keesokan harinya aku memutuskan untuk menemui dokter yang merawat Raka. Entah, mungkin karena kebetulan, dokter yang merawatnya adalah temanku dan Raka diwaktu kami duduk di bangku SMA.
“Ada apa, Na?” Ia langsung bertanya padaku begitu aku sampai di ruangannya. “Pasti tentang Raka ya?”
“Iya, Lisa. Aku mau minta tolong sama kamu.” Aku berucap dengan raut wajah yang serius pada temanku, Dokter Lisa. “Aku mau donorin mataku buat Raka.”
“Apa? Kamu serius, Na?” Ia begitu terkejut mendengar perkataanku hingga membuatnya sontak berdiri dari kursinya.
“Iya, Sa. Aku udah pikirkan semuanya. Aku mohon.. Segera lakuin operasinya. Aku gak mau Raka menderita.. ini semua gara-gara aku.” Tak bisa lagi menahan isak tangisku di depan Lisa, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Lisa menghampiriku dan memelukku.
“Aku bakalan lakuin, Na. Tapi aku mohon jangan salahin diri kamu sendiri. Ini murni kecelakaan.” Lisa berusaha menenangkanku. “Tapi, sebelum itu kamu pasti mau ketemu Raka kan? Sekarang, keluarga Raka gak ada disini. Kamu bisa temui dia sekarang.”
“Makasih banyak, Sa. Tapi, aku gak mau siapapun tau kalau yang donorin mata untuk Raka itu aku. Termasuk Raka. Tolong kamu jaga rahasia ini.”
Aku senang. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk melihat Raka terakhir kalinya. Sebelum aku benar-benar tidak bisa melihatnya, untuk selamanya.
Perlahan ku buka pintu kamar tempat Raka dirawat. Aku tak tega melhat Raka yang sampai saat ini belum sadarkan diri dan terbaring lemas diatas ranjang. Kudekati Raka, ku tatap wajahnya yang damai. Mungkin.. ini untuk yang terakhir kalinya.
“Raka, maafin aku. Aku gak bisa tepati janji untuk selalu ada disisimu. Mulai sekarang, kamu jaga diri ya. Jangan sakit, kamu gak boleh sakit.” Lagi, air mataku menetes tanpa perintah. “Makasih banyak untuk semua yang pernah kamu berikan. Aku bahagia pernah memiliki orang sebaik kamu. I love you, Raka.”
Kutinggalkan ruangan Raka dengan langkah berat. Sungguh, aku tak pernah ingin meninggalkannya. Tapi, aku tak bisa memaksakan semuanya agar berjalan sesuai dengan keinginanku. Maaf Raka, aku tak berdaya dan harus pergi. Apalah arti sebuah hubungan jika tak direstui. Selamat tinggal, Raka.
* * *
Musim hujan datang lagi. Rintik hujan setia menemani hari-hariku. Akupun masih setia duduk sambil memandangi hujan dari kaca jendela kamarku. Tidak, aku hanya merasakan dinginnya hujan tapi tak bisa menatapnya. Sudah setahun aku begini, tak ada yang bisa kulakukan. Aku juga masih saja belum bisa melupakannya meski aku sudah mengambil langkah dengan menutup toko bungaku dan pindah rumah agar bisa melupakannya. Tetapi, tetap saja aku tak bisa melupakannya. Memang benar apa yang orang katakan, semakin kau berusaha untuk melupakannya, semakin keras kau berjuang melupakannya, semakin sulitlah kau melupakannya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Seperti biasa, hingga sekarang Lisa selalu mengunjungiku setiap hari. Ia selalu datang untuk melihat keadaanku. Aku berjalan keluar dari kamar sambil menggapai dinding-dinding berusaha mencapai pintu dan membukanya.
“Lisa, udah selesaikah dari rumah sakit hari ini?”
“Hm? Lisa?”
Suara itu. Suara yang tak asing bagiku. Suara yang selama ini aku rindukan.
“Si..siapa?”
Ia menggapai tanganku. Dan meletakkan sesuatu yang bisa kucium wanginya. Wangi yang aku sukai, bunga mawar putih. “Bunga yang indah, untuk wanita terindah.”
Kalimat itu.. kalimat yang dulu paling aku sukai. Kalimat yang selalu kudengar setiap hari. Kalimat dari orang yang paling kucintai. Aku pasti bermimpi. Ini sungguh sangat mustahil.
Lututku melemas, hampir saja aku terjatuh. Namun, dengan sigap ia memelukku. “I miss you so bad, Nasya. Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu ninggalin aku? Dan kenapa kamu lakuin ini?”
Aku sungguh tak percaya. Tapi ini terasa sangat nyata. Raka.. Raka kembali dan memelukku. Aku tak tahan lagi, aku tak bisa menahan tangisanku. Terlalu lemah untuk berkata-kata, aku hanya bisa menangis dipelukannya.
“Kamu pasti kaget ya, Na?” Suara tak asing muncul dari arah belakang Raka. Ya, suara Lisa. Aku melepas pelukan Raka perlahan, “Aku yang kasi tau semuanya ke Raka. Aku gak tahan liat kamu menderita dan selalu menyalahkan diri kamu sendiri. Kamu juga pantas bahagia, Na. Aku yakin, Raka adalah kebahagiaan kamu. Raka, jaga Nasya baik-baik ya. Dah semuanya, sekarang aku harus ke rumah sakit lagi.” Suara langkah kaki Lisa perlahan pergi menjauh.
Raka memegang pundakku. “Apa kabar, sayang? Kamu tau gak, Mama udah tau semuanya. Hari ini Mama dan Papa mau ketemu kamu. Mau bicarain soal pernikahan kita. Kamu.. masih mau kan nikah sama aku?”
Isak tangisku semakin menjadi, aku benar-benar tak percaya dan benar-benar bahagia. Perasaanku bercampur aduk. “Tapi Raka aku bu..”
“Ssstt..” Raka seakan tau apa yang akan kukatakan pun dengan segera menghentikanku. “Nasya dengar, aku gak peduli bagaimanapun keadaan kamu, aku tetap cinta kamu. Kamu tau? Aku hampir gila karna kamu menghilang dan pergi gitu aja. Aku mohon Nasya, jangan tinggalin aku lagi. Aku janji bakal jagain kamu. Aku gak akan pernah sakitin kamu. Jadilah istriku, Nasya.”
Kali ini aku menangis bahagia. Ku anggukan kepalaku perlahan mengiyakan perkataan Raka. Kembali Raka memelukku erat seakan tak ingin kehilanganku lagi.
Aku benar-benar bahagia. Ternyata benar apa kata Lisa, semua orang berhak bahagia. Begitupun denganku, aku berhak bahagia dan Raka adalah kebahagiaanku.
* * * * * *
Nanda Sukma Ayuni merupakan Agen Literasi Kalimantan Barat demi Bangsa yang lebih maju. Gadis yang masih kuliah ini memiliki panggilan Nachan yang lahir di Anjungan pada 2 September 1999. Keinginan menjadi agen literasi Kalimantan Barat membenak di hati karena sejalan dengan hobinya membaca dan menulis. Gadis ini menciptakan dunia sendiri dengan membaca dan menulis, sama dengan mottonya, yaitu Ciptakan duniamu sendiri dengan membaca dan menulis.
Ingin tau tentang Nachan hubungi via instagram: @nandachaan dan @literasikalbar
1 comments:
Cerpennya bagus banget , sampai-sampaia ku nangis waktu baca 🥺
ReplyEmoticonEmoticon