Senin, 23 Agustus 2021

Cerpen | Status Harga Diri

author photo

Cerpen Ramli Lahaping


literasikalbar.com - Cerita Status Harga diri menarik dari Ramli Lahaping mengenai pekerjaan dan integritas seseorang. Seseorang tokoh yang mengalami kekhawatiran terhadap yang dilakukan orang terdekat mengenai dirinya. Apa saja kekhawatiran tokoh tersebut? Pembaca bisa langsung menikmati cerpen Ramli Lahaping.


Cerpen Ramli Lahaping


Status Harga Diri


Aku merasa telah berhasil membahagiakan ibuku. Di usia 25 tahun, atau tiga tahun setelah menyandang gelar sarjana, aku telah menjadi seorang guru berstatus PNS di sebuah SMP negeri. Hal itu tampak membuat ibuku berbangga diri di tengah-tengah masyarakat. Apalagi, di desaku, hanya ada tiga orang yang menyandang status PNS, termasuk aku.


Pencapaianku sungguh telah membuat ibuku menjadi tinggi diri. Ia seperti merasa terhormat atas seragam dinas yang melingkupi tubuhku. Dengan percaya diri, ia senantiasa mengelu-elukan keadaanku di tengah obrolan dengan para warga. Ia mengaku diri telah berhasil mendidikku menjadi anak yang sukses, yang patut menjadi contoh bagi anak-anak yang lain.

Tetapi di dalam hati, aku malah kecewa dan malu atas diriku sendiri. Aku merasa telah gagal dalam keberhasilanku. Pasalnya, pencapaianku menjadi pegawai negeri, bukanlah hasil perjuanganku secara murni. Pencapaianku itu hanyalah buah dari uang sogokan untuk seseorang agar menyusup ke dalam sistem seleksi dan membuatku bisa melulusi semua tahap ujian.


Pada awalnya, aku menolak untuk menempuh jalan tikus. Aku ingin berhasil dengan usahaku sendiri. Tetapi sekian lama menyandang gelar sarjana tanpa pekerjaan yang pasti, telah membuat ibuku khawatir atas masa depanku. Sampai akhirnya, ia tergoda dengan iming-iming sang pengurus, kemudian merelakan tabungan hasil tani almarhum ayahku sebagai pelicin.


Mulanya, aku ragu bahwa permainan uang masih mempan. Aku mengira sistem sudah sangat baik, dan tak ada lagi celah untuk cara-cara culas. Tetapi akhirnya, aku harus percaya bahwa uang masih bisa mengalahkan ikhtiar suci. Tanpa uang, aku yakin  jawaban-jawabanku di tahap seleksi masih akan gagal meloloskanku, seperti pada proses penerimaan sebelumnya.


Akhirnya, aku hidup di dalam kekalutan. Aku bahagia, sekaligus sengsara. Di satu sisi, aku merasa senang sebab telah berhasil menjadi seperti yang ibuku mau. Tetapi di sisi lain, aku merasa menderita, sebab pada kenyataannya, keberhasilan itu kugapai dengan cara yang tidak benar. Aku merasa berdosa dan tidak bisa menerima keadaanku sendiri secara penuh.


Rasa bersalah kemudian semakin menyesakkan perasaanku setiap kali aku memerhatikan keadaan teman sekerjaku yang sekian lama mengabdi sebagai honorer. Terhadap mereka, aku merasa telah berbuat zalim. Aku telah merampas hak ataupun  kesempatan mereka. Apalagi, beberapa di antara mereka telah memiliki usia di atas batas usia untuk menjadi seorang pegawai negeri.


Hingga akhirnya, pada satu malam, selepas bersantap, aku pun mengungkapkan kerisauanku kepada ibuku, “Aku merasa berdosa, Bu.”


Ibuku pun tampak penasaran, seperti tak ada pikiran apa-apa.


“Berdosa kenapa, Nak?” tanyanya.


Aku sontak menelan ludah di tenggorokanku. Aku merasa berat untuk berterus terang. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri, “Aku merasa berdosa telah menjadi PNS dengan cara yang curang, Bu. Aku berpikir untuk mengundurkan diri saja dan mencari pekerjaan lain dengan cara yang benar.”


Seketika, raut wajahnya menjadi muram.


“Apa kau sudah gila?” tentangnya, dengan nada marah.


Aku pun tercegat dan lekas menunduk takut.


Sejenak berselang, ia lantas menghela dan menghembuskan napas yang panjang. Tampak berusaha menenangkan emosinya.


“Statusmu itu adalah hasil kerja kerasku dan mendiang ayahmu, Nak. Seharusnya kau berterima kasih. Seharusnya kau bersyukur. Jangan berpikir yang tidak-tidak,” tuturnya, terdengar menasehati.


“Kau tahu sendiri kalau sekarang orang-orang pun melakukan hal yang sama untuk menjadi seperti dirimu. Sistemnya memang sudah begitu. Tidak ada yang salah.”


Aku pun mengangguk pelan dengan perasaan bersalah sebab telah menyinggung perasaannya.


“Aku tidak bermaksud memarahimu, Nak. Aku hanya ingin kau menerima dan mensyukuri keadaanmu saat ini,” tuturnya lagi, dengan nada lembut.


“Yang harus kau lakukan saat ini adalah menunaikan kewajibanmu dengan sungguh-sungguh. Selain itu, kau mesti berbuat baik atas apa yang telah engkau miliki. Jangan sombong, dan rajin-rajinlah bersedekah.”


Aku mengangguk lagi dengan pemahaman atas perasaannya.


“Iya, Bu,” balasku. “Maafkan aku.”


Ia pun mengusap-usap punggungku.


Setelah percakapan itu, aku tak pernah lagi menampakkan kekalutanku di hadapannya. Aku terus berusaha untuk mengesankan bahwa aku bangga menjadi PNS, demi kebahagiaannya. Aku terus berjuang untuk meredam kata hatiku yang menggugat pencapaianku sendiri, demi ketenangan hidupku juga.


Hari demi hari kemudian, aku pun berupaya menjadi pegawai negeri dengan kepribadian yang baik, sebagaimana pesan ibuku. Aku tak mau meninggalkan dan melalaikan tugasku sebagai guru, kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan. Pun, aku senantiasa menyisihkan sebagian gajiku untuk teman-teman guru honorerku yang hidup dengan upah seadanya.


Tak pelak, aku akhirnya dikenal sebagai sosok yang terpuji oleh teman-temanku. Mereka menilai bahwa aku berbeda dengan guru berstatus PNS yang lain, yang setengah hati melaksanakan tugas karena keutuhan gaji tetap terjamin setiap bulan. Paling tidak, aku jarang mewakilkan tugas mengajarku kepada mereka, sedang beberapa guru PNS malah terkesan mengalihkan tanggung jawabnya kepada mereka.


Di antara teman-teman guruku yang berstatus honorer, kukira, Sari yang paling membuatku kagum. Pasalnya, ia telah mengabdi selama 16 tahun, dan ia tak bisa lagi mengikuti seleksi untuk menjadi PNS di usianya yang sudah lebih dari 40 tahun. Tetapi kenyataan itu tidak membuatnya patah semangat untuk mendidik siswa-siswi sebaik mungkin. Bahkan ia tak pernah keberatan untuk menalangi tugas mengajar yang dilalaikan guru PNS muda, meski sesungguhnya ia adalah guru senior.


Hingga akhirnya, angin sejuk berembus. Pemerintah membuka kesempatan bagi para guru honorer berusia tua untuk meningkatkan derajat mereka menjadi guru berstatus PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Pejanjian Kontrak). Kuota penerimaan guru kontrak itu pun, tersedia untuk penempatan di sekolah tempatku mengajar. Maka dengan penuh perhatian, aku pun meminta Sari untuk ikut seleksi agar penghidupannya lebih baik, meskipun pengorbanannya tak mungkin akan terbalaskan.


Tetapi tidak mudah untuk membesarkan hati Sari. Ia terlanjur putus asa untuk meningkatkan statusnya. Pasalnya, ia telah menggantungkan harapannya pada janji pemerintah bahwa guru honorer yang telah lama mengabdi akan diangkat menjadi PNS, tetapi harapan itu telah dibunuh oleh pengingkaran. Sedang untuk ikut seleksi guru kontrak, ia merasa tak akan bisa bersaing dengan banyak pelamar yang lebih muda. Apalagi, sebelumnya, ia pernah ikut seleksi serupa dan mendapatkan hasil yang mengecewakan.


Namun untuk kali ini, aku ingin agar ia mencoba lagi. Aku pun terus membujuk dan meyakinkannya bahwa ia pasti akan berhasil. Apalagi, kataku, status kontrak adalah haknya sebagai honorer pengabdi negara yang tak bisa lagi menjadi PNS. Hingga akhirnya, ia bersedia mengikuti seleksi, bersama dengan teman-teman guru honorerku yang lain.


Tak ingin membuat Sari gagal dan benar-benar mati harapan, aku pun melakukan upaya ekstra untuk membantu kelulusannya. Aku mengenal seorang pegawai di pemerintahan kota yang mengaku memahami jaringan di dalam sistem seleksi, dan aku memutuskan untuk melakukan intervensi atas bantuannya. Maka berbekal tabungan gajiku, tanpa ragu, aku pun memberinya uang pelicin untuk menjamin kelulusan Sari melalui celah-celah yang mungkin.


Agar rencanaku berjalan baik, aku pun meminta Sari untuk mengikuti tahapan seleksi sebagaimana mestinya, sembari memberinya bantuan di belakang layar tanpa sepengetahuannya. Aku melakukan cara terselubung itu demi kelulusannya, sebagaimana yang dilakukan ibuku demi kelulusanku menjadi PNS. Aku yakin, dengan begitu, ia akan berhasil. Apalagi, aku merasa ia memang pantas untuk itu atas jasa-jasanya selama ini. Aku merasa tindakanku bijak dan patut untuk dibenarkan.


Sampai akhirnya, di hari pengumuman kelulusan, di ruang guru, Sari sontak memelukku, sembari berurai air mata. “Aku lulus!”


Seketika, aku merasa sangat senang.


“Selamat, Bu!”


Ia lalu mengurai pelukannya.


“Terima kasih karena kau telah meyakinkan aku untuk ikut seleksi,” katanya, sambil menyeka air matanya.


Aku pun mengangguk haru.


“Sama-sama, Bu.”


Dengan wajah yang basah, ia lantas merekahkan senyumannya.


“Jika bukan karena kau, aku pasti tidak akan menggapai keberhasilanku ini,” katanya lagi, seperti menganggap peranku sangat penting baginya.


Aku menggeleng, kemudian berusaha merendahkan diri, “Jangan bilang begitu Bu. Itu memang sudah takdir dan rezeki Ibu.”


Ia pun kembali tersenyum dengan raut yang menyiratkan kebahagiaan.


Akhirnya, atas kelulusan Sari, aku merasa sedikit tenang. Aku merasa berhasil mengikis rasa bersalahku setelah sekian lama menikmati penghidupan atas status PNS yang kudapatkan dengan cara culas, yang kukira lebih pantas menjadi hak para guru pengabdi sejati seperti dirinya.


Namun berbeda dengan keadaan Sari, beberapa saat kemudian, aku malah menjumpai kemurungan di wajah Warni, salah seorang teman guru honorerku, yang sepantaran denganku. Tanpa perlu penjelasan darinya, aku lekas memahami bahwa ia bersedih karena tidak lulus dalam seleksi CPNS kali ini.


Akhirnya, dengan sikap seolah-olah tidak mengerti, aku pun bertanya, “Bagaimana dengan hasil seleksimu?”


Ia lekas menggeleng dengan wajah merengut.


“Sabarlah. Kau masih muda. Kau bisa ikut seleksi CPNS tahun depan. Kau bahkan masih bisa ikut seleksi di tahun-tahun mendatang. Kau masih punya banyak kesempatan,” kataku, mencoba membesarkan hatinya.


Raut wajahnya malah tampak semakin kuyu. “Ya.. Tetapi waktu demi waktu, jumlah pesaing kan semakin banyak,” balasnya, lesu, kemudian mengungkapkan keraguannya, “Setelah berkali-kali gagal, aku jadi semakin ragu bisa lulus pada seleksi selanjutnya.”


Aku sontak berdecak, menentang.


“Yakinlah, selama kau berusaha dan berdoa, kau pasti berhasil,” tanggapku, lantas melayangkan senyuman.


Ia mengangguk-angguk saja, seperti masih berat menerima keadaannya. Untuk beberapa saat, ia pun tampak merenung murung.


Hingga akhirnya, ia bertanya, “Apa kau mengenal seseorang yang dapat membantu kelulusan seseorang menjadi PNS? Orang tuaku sanggup membayar asal ada jaminan lulus.”


Seketika, perasaanku pun tersentak mendengar kehendaknya. Aku lantas menggeleng keras. “Aku tak tahu perkara-perkara semacam itu,” sangkalku, dengan sikap lugu.


“Sebaiknya, jangan tempuh cara seperti itu untuk urusan penghidupan. Berusahalah dengan cara-cara yang benar.”


Ia lantas mendengkus, lalu terdiam dalam kekalutannya.


Terang saja, aku merasa bersalah dan kasihan menyaksikan keadaannya. Bagaimanapun, aku telah mengambil satu posisi yang seharusnya menjadi kesempatan baginya menjadi menjadi seorang guru berstatus PNS.


Akhirnya, atas nasib Sari dan Warni, aku pulang ke rumah seusai jam pelajaran dengan perasaan yang berwarna-warni.


Sesaat kemudian, setiba di rumah, ibuku pun datang menghampiriku, lantas memancing perbincangan dengan mimik antusias, “Eh, kau tahu, Jamil, si pengurus PNS-mu itu, kabarnya, dua hari yang lalu, ditangkap polisi.”


Aku pun terkejut. Anggapan yang tidak-tidak kemudian bermunculan di dalam benakku. “Bagaimana bisa? Apa masalahnya?”


Ia lalu menyondongkan tubuhnya ke arahku, lantas menjawab dengan suara penuh penekanan, “Ia telah menipu banyak orang.”


“Menipu? Menipu bagaimana?” tanyaku, penasaran.


Ia pun mendengkus dengan raut sinis. “Ia menipu dengan meminta imbalan dan berjanji akan meluluskan orang menjadi PNS. Padahal, nyatanya, ia hanya mengaku-aku bisa meluluskan orang.”


“Mengangu-aku bagaimana?” selidikku.


“Sebenarnya, ia tidak melakukan apa-apa atas kelulusan orang-orang,” terangnya, dengan wajah yang perlahan-lahan menyiratkan kesenangan.


“Sebenarnya, orang-orang yang lulus PNS setelah meminta bantuan kepadanya untuk diluluskan, ya, lulus murni.”


“Bagaimana bisa?” ulikku lagi, tak habis pikir. 


Ia pun tersenyum singkat. “Nah, pikir-pikirlah. Kau mengikuti semua tahap seleksi, kan? Dan kau berusaha menjawab ujian dengan sebaik-baiknya, kan?”


Aku mengangguk, membenarkan.

“Itu berarti, jawabanmu memang benar. Itu berarti, kau lulus dengan usahamu sendiri,” pungkasnya, dengan raut semringah.


Aku pun tercenung.

***


Ramli Lahaping


Ramli Lahaping Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog.





Tulis Pendapat Anda 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post